Extra Chapter 3

54.9K 2.7K 1.4K
                                    

P E M B U K A

*sementara nggak dikasih foto papi kita yang oke banget itu, ya?*

hihihi, langsung kasih emot aja deh di sini

Ini super panjang hampir 10k, kurang dikit 🐥





Hal sekecil apapun yang Viola lakukan, pasti selalu menjadi sesuatu yang sangat berarti untuk Manggala. Misalnya saja soal selembar foto keluarga yang sengaja perempuan itu simpan di laci ruangan pribadinya.  Foto dimana dirinya bersama orang-orang yang mencintai dan ia cintai dengan sangat, sedang tertawa lepas dan memusatkan perhatian pada satu titik yaitu si lucu Askara.

Pada sisi belakang foto, terdapat kalimat penyemangat yang ditulis tangan oleh istri dan anak sulungnya. Tentu saja idenya merupakan buah pikiran Viola. Sebuah ide yang lahir sebagai bentuk dukungan penuh untuk Manggala, serta diharapkan bisa menjadi sumber energi cadangan baru. Jadi, ketika di kantor Manggala kehabisan energi, pria itu hanya perlu melihat potret kebersamaan keluarga kecilnya. Juga membaca pesan dukungan dari orang yang menyayanginya. Maka energi positif akan mengalir ke tubuhnya, sehingga kebutuhan energi selalu tercukupi—sekalipun sumber energi utamanya sedang tidak bersamanya.

Selain itu, ada pula coretan tidak jelas dari Askara yang belum bisa menulis. Kalau orang lain yang melihatnya, mungkin hanya melihat itu hanyalah garis-garis tak beraturan, tanpa makna tersirat. Namun tidak dengan Manggala, sebab pria itu ada di sebelah Askara—sewaktu bocah itu sangat serius membuat coretan-coretan itu.

Manggala ingat persis detailnya.
Sesaat setelah Viola dan Kala menulis pesan di sisi belakang foto, Askara yang tidak diajak itu tiba-tiba merajuk dengan gaya ala-ala si tuyul magang. Bukan pada mami atau kakaknya, melainkan pada Manggala yang tidak tahu apa-apa. Manggala diseruduk, lalu ditunggangi, dan berakhir mendapat banyak gigitan di lengan. Dan untuk membujuk anak bungsunya, papi dua anak itu menyerahkan foto beserta bolpoin. Meminta si tuyul magang ngambekan untuk menulis sesuatu sebagaimana yang dilakukan oleh mami dan kakaknya.

Begitu mendapat apa yang diinginkan, si bungsu banyak mau pun tengkurap di lantai. Ruang kosong di bawah tulisan sang kakak, pun Askara penuhi dengan coretan tangannya yang tidak jelas itu. Selama melakukannya, bibirnya maju beberapa centimeter, dan terus bergumam lucu dengan suara pelan—hanya terdengar oleh Manggala yang ikut tengkurap di dekatnya. Bertingkah seolah-olah apa yang baru saja keluar dari mulut, adalah yang sedang ditulis.

"Papi, semangat bekerjanya! Kalau tidak semangat bekerjanya, nanti tidak pulang-pulang. Memangnya tidak mau cepat-cepat berkumpul di rumah bersama aku, dan Akak Kala, dan Mamiw Pio?" Adalah deret kalimat yang diwakilkan oleh garis-garis tegak dengan tinggi tak sama rata.

Lalu garis spiral memanjang tak beraturan disambung coretan asal-asalan, mewakili kalimat,
"Tapi kalau sudah pulang, jangan dekat-dekat Akak Kala dan Mamiw Pio-ku, ya, Papi! Papi sendirian saja! Kan, sudah besar dan tinggi seperti jerapah di zoo. Kalau papi tidak mau nurut, nanti aku nangis keras-keras dan guling-guling di lantai, terus tidak mau nyam-nyam dan tidak mau nyot-nyot juga. Mau aku begitu-begitu, huh?"

Mengingat bagaimana lucunya Askara saat itu, sudut-sudut bibir Manggala terangkat membentuk garis lengkung senyum menawan. Ia ambil foto di laci untuk dipandang dari jarak lebih dekat. Kemudian lempar punggungnya ke sandaran kursi kebesarannya.

Detik-detik selanjutnya, pria itu gunakan untuk memandangi potret keluarga kecilnya yang tak pernah disangka-sangka akan disempurnakan oleh hadirnya sosok Viola. Manggala yang dulu sempat mati rasa dan tidak mau jatuh cinta lagi pada perempuan manapun, mana pernah menyangka, sih, kalau kehidupannya akan berakhir lebih indah dari yang pernah ia minta lewat doa.

Naughty NannyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang