Pandangan Pertama

557 42 12
                                    

"Kebetulan salepnya abis. Jadi aku olesin lidah buaya aja, ya?" Setelah mengupas bagian luar lidah buaya, cewek tersebut berdiri di samping Dimas. "Kamu… akbar, ya? Kayaknya baru kali ini aku liat kamu," tanyanya sambil mengoleskan lidah buaya ke lengan Dimas yang terluka, yang saat ini duduk di atas ranjang. Beberapa kali Dimas refleks menjauh akibat lukanya yang membengkak serta terasa mendingin tiba-tiba tersentuh oleh lidah buaya yang dioleskan Anjani.

"Akbar?" tanyanya sambil meringis sakit.

"Iya. Anak baru maksudnya. Pindahan dari mana?"

"Aku dari Jakarta." Tatapan Dimas terus terpaku pada cewek tersebut. Cantik. Bahkan seolah terhipnotis, mata Dimas terus saja mengikuti ke mana pun cewek itu berada.

"Em, by the way, bakwan sama batu itu apa?"

"Bakwan itu babak one. Kenapa bakwan, itu karena kelas satu itu lagi kayak makanan yang diginiinlah, digituinlah…, ya digojlok gitulah. Terus batu, itu babak two. Dinamain batu karena kelas dua itu lagi ada di masa tenang, ya kayak batulah, diem. Da-"

"Tunggu, aku tebak yang babak three. Pasti batre, iya kan?" potong Dimas.

"He'em. Itu karena kelas tiga harus persiapan penuh buat ngadepin UNAS. Jadi ya, kayak batre yang harus dicharger penuh pake soal-soal."

Dimas mendekih. "Ternyata ada filosofinya juga ya? Hehe."

Cewek tersebut tersenyum menampakkan lesung pipitnya yang membuatnya bertambah manis. Tentu Dimas nggak akan kuat menahan degap jantungnya yang full speed saat melihat bidadari di hadapanya, bahkan hingga membuat saku hemnya tampak bergetar. Cowok mana yang bakal tahan coba?

"Nama ka-"

"Nama ka-" ujar mereka yang bersamaan membuat mereka berhenti melanjutkan, dan malah tertawa bersamaan.

"Ladies first."

"Nggak deh. Cowok'kan imam?" katanya masih sambil mengobati Dimas.

"Dimas."

"Anjani." Dimas langsung membaca nametag di dada kanan cewek tersebut sambil menyipitkan mata kirinya. Anjani Dwi W. Lalu terbitlah sebuah senyum canggung di antara kedua pipi cowok ini.

"Oh iya, kamu di kelas mana…, Dim?"

"Sebelas enam. Kamu?"

"Sebelas satu." Sekarang Anjani berdiri tegak karena sudah selesai mengobati Dimas. Dia meletakkan sisa kulit lidah buaya di atas meja sebelah ranjang.

Tau ada bidadari cantik begini, gue masuk IPA satu aja ya, hehe, seloroh Dimas dalam hati. Kemudian hening sementara menyela di antara mereka. Hingga bel masuk berbunyi dan memecah sepinya UKS.

Ting…tong…teng… jam pelajaran, keempat

"Kamu tau sekarang pelajarannya siapa? Hati-hati lhoh…. Di sini itu, peraturannya ketat banget." Sejenak Dimas ingat perkataan guru yang tadi mengajarnya itu. "Telat dikit aja langsung disuruh ikut pelajaran di luar kelas. So, kamu harus ngintip lewat jendela gitu. Kan, nggak enak tuh?"

"Emh…." Dimas mengerucutkan bibir sambil mengingat sesuatu. "Kalo nggak salah sih, pelajaranya Pak Taufik."

Sekilas ada ekspresi lucu di wajah Anjani. Dia juga tampak menahan tawa di tenggorokannya. Seolah-olah dia tengah mengetawai guru yang dimaksud Dimas tersebut, entah karena apa.

"Kok kayak nahan tawa gitu sih? Kenapa sama Pak Taufik? Galak? Jadul? Ngebosenin? Atau … sebaliknya?"

"Ah, nanti kamu juga tau." Anjani memunguti kulit lidah buaya. "Nanti kalo masih sakit, istirahat aja di UKS. Tapi jangan lupa ijin sama Pak-Ta-u-fik, yah? Hehe. Dah…, aku balik kelas duluan, ya?" ujarnya sambil melangkah keluar, tanpa sedikitpun menoleh pada Dimas. Entah kenapa dia memberi penekanan ketika melafalkan nama guru tersebut. Dan entah kenapa dia menyembunyikan senyum konyol ketika berjalan meninggalkan Dimas.

Serenade [Selesai]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن