Menemukan Jejak

240 24 0
                                    

Pagi di hari Senin. Sudah satu jam para siswa berdiri di lapangan upacara di bawah sinar mentari yang mulai meninggi. Upacara memang sudah selesai, tapi mereka diharuskan menunggu beberapa menit lagi untuk pengumuman. Membuat mereka melenguh-lenguh ria karna kepanasan. Terlebih lagi cewek-cewek rempong seperti Citra yang bisanya nyerocos mulu sambil mengipas-ngipasi wajah terawatnya.

Sehari setelah perjalanan pulang dari Bogor kemarin benar-benar membuat Dimas sangat lelah. Sabtu kemarin dia berhasil membawa medali beserta piala setelah diumumkan bahwa Dimas berhasil mendapat predikat juara dua se-Indonesia dalam Olimpiade Matematikanya. Tentu hal itu membuat pak Taufik bangga tak keruan. Beda dengan Dimas yang cemberut saja karna dia bilang cuma dapet juara dua. Padahal, kan, juara dua untuk tingkat nasional itu udah wow bukan?

"Sialan! Gue dikalahin lagi sama si brewok!!" maki Dimas dengan muka lesunya di depan keempat temannya, dan di tengah berbaris anak yang telah mengikuti upacara. Yang bising hingga meredam makian Dimas.

"Brewok? Siapa tuh, Dim?" Andri angkat bicara.

"Si Virgo. Temen gue waktu masih SMA di Jakarta."

"Kok, brewok?" tanya Erix sambil memegangi dagu. Membayangkan kalau orang yang dimaksud Dimas itu udah banyak brewoknya meski masih SMA.

"Singkatan brain walking."

"Halah, juara dua se-Indonesia Raya tuh dah wonderfulllll!!! Coba aja kalo gue yang dapet juara, Abang Sopyan rela, deh, disunat lagi. Iya, kan, Sop?" celetuk Dyan sambil menyandarkan lengan di bahu tinggi Sofyan. Tapi Sofyan yang mendengarnya jadi pura-pura sengit dan beringsut menjauh dari Dyan.

"…dalam Olimpiade Matematika di tingkat nasional, sekolah kita mendapat peringkat dua yang diwakili oleh Dimas Aji kelas dua IPS satu!! Silakan Dimas maju ke podium."

Begitu pengumuman tersebut diuarkan, semua siswa bertepuk tangan meriah. Pandangan anak-anak yang ada di sekitar Dimas langsung tertuju padanya.

"Tuh, Dim. Kalo lo nggak mau, gue aja deh yang maju. Itung-itung nampang di kalender sekolah pojok depan sama sampul majalah sekolah, hahaha," tawa Dyan dengan begitu bangganya.

Dimas menghela napas. Lalu dengan wajah kusutnya dia melangkah malas menuju podium di belakang tiang bendera di depan sana.

Jerit norak ala fans Dimas mulai terkoar di sana-sini. Ada yang bilang 'I love you', ada yang cuma memanggil-manggil nama Dimas, ada yang… yah… begitulah.

Wajah Dimas masih menekuk di podium. Dia hanya tersenyum sedikit. Itu pun ketika menerima pialanya—yang paling-paling juga akan diberikan pada sekolah nantinya—dan juga bersalaman dengan sang kepala sekolah. Dimas sebenarnya cemberut bukan karna dapet juara dua. Lagi-lagi dia punya firasat buruk. Hatinya sedang dibolak-balik lagi oleh suatu hal yang nggak Dimas mengerti seperti waktu itu.
 
Namun ketika matanya menangkap sosok cewek dambaan hatinya di baris depan di sana yang sedang mengacungkan jempol kepada dirinya, senyum Dimas terbit. Anjani…

"Dimas, kamu sini, ya?" seksi dekdok sekolah menarik Dimas ke tengah-tengah empat guru matematikanya. Salah satunya pak Taufik.

"Satu, du—"

"Tunggu, Pak!" cegah Dimas. Dia mengambil kacamata dari saku celana dan memakainya. "Biar lebih ganteng," katanya sambil menaik-naikan kedua alis. Lalu dia meringis dan memasang tangan dengan bentuk 'Rock n Roll' sambil membawa piala dengan tangan lainnya.

Serenade [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang