Pisah

302 19 0
                                    

Dari tadi Dimas sibuk menulis-nulis sesuatu dengan sehelai kertas di depannya. Setiap Erix, Sofyan atau pun Dyan hendak mengajaknya nyanyi-nyanyi bareng, Dimas selalu menolaknya. Nggak tahu kenapa, Dimas merasa benar-benar harus menyelesaikan apa yang dia tulis itu. Mumpung gurunya cuma memberi tugas juga. Sesekali dia berpikir sambil menggaruk-garuk kepala yang nggak gatal hingga rambutnya acak-acakkan. Andri, yang baru saja menyelesaikan tugas sejarah dengan kelompoknya, yang curiga Dimas kenapa tampak seperti orang sinting pun menghampirinya.

"Nulis apa, Dim?" tanya Andri sambil mendudukkan diri di kursi sebelah Dimas, yang tak lain adalah kursinya sendiri.

"Gue bingung, Dri. Gue mau nulis apa, ya, buat bikin surat permintaan maaf buat Ririn? Gue malu, Dri, kalo mesti face to face gitu ngomong maafnya ke Ririn," jawab Dimas penuh akan kegelisahan.

Andri ikut merenung, mencoba berpikir untuk membantu Dimas. Hingga sebuah ide pun tersangkut di benaknya.

"Gimana kalo bikin puisi, Dim?"

Dimas langsung menoleh pada Andri. Dia malah pura-pura mewek. "Mana bisa gue bikin puisi," rengeknya.

"Entar gue bantu, deh. Tapi jangan salahin, ya, kalo jelek? Pemula nih," ujar Andri sambil melirik sebuah kalimat yang berada di kiri atas surat Dimas.

"Oke, oke, deh." Dimas begitu sumringah.

Mereka berdua pun tenggelam bersama dalam kerja sama yang telah mereka sepakati.

Baru beberapa detik mereka bertukar ide dan belum sampai mereka torehkan pada kertas, sebuah ketukan pintu mendarat pada pintu kelas yang tertutup rapat. Tapi Dimas dan Andri sama sekali tak menggubris ketukan pintu itu. Pasti bukan urusan mereka, kata mereka dalam hati masing-masing.

"Ssst…," lerai Ririn untuk meredam keriuhan kelas. Kemudian si tomboi itu melangkah mendekati pintu dan membukanya. Sekian detik setelah tersenyum dan dibisiki oleh seseorang yang mengetuk pintu tersebut, Ririn berbalik.

"Dimas Aji, dipanggil untuk menemui bu Azizah di ruang kesiswaan sekarang juga." Perkataan Ririn yang datar itu langsung disambut dengan tatap mata seram seluruh anak ke arah Dimas. Anak yang dipanggil untuk menghadap bu Azizah—karyawan kesiswaan—biasanya anak bermasalah di kelas. Apalagi masuk ke dalam ruang kesiswaan yang suasananya sering nggak jauh beda dengan ruang BK. Dan Dimas mungkin ada dalam kisaran anak-anak bermasalah itu karna keusilannya.

Dimas kontan mengangkat wajah. "Apa lagi, coba?" omelnya sambil merengut kesal.

"Udahlah, Dim. Ke sana dulu aja. Daripada bu Azizah keburu ngomel."

Dengan wajah sebal, Dimas pun berjalan keluar kelas.

Di luar, dia bertemu sosok laki-laki dengan kemeja yang begitu formal dan kacamata hitam. Laki-laki itu tersenyum ketika Dimas keluar dari kelas. Alih-alih membalas, Dimas malah melengos sambil merengut kesal dan berjalan cepat melewati laki-laki tersebut. Dia tahu siapa laki-laki itu. Laki-laki itu adalah orang yang biasa menemui ayahnya di rumah. Lalu laki-laki itu membuntuti arah Dimas berjalan, seakan ingin mengawalnya.

Jantung Dimas kian berdetak kencang ketika hendak menguak pintu kesiswaan yang sudah ada di depannya. Dia sudah pasrah lebih dulu dengan kemungkinan yang terjadi. Dia pun membuka pintu. Dan di ambang pintu itu, Dimas membeku dengan pandangan takut kepada pria yang duduk di depan wanita berkerudung, yang tengah berhenti berbincang-bincang dan memilih untuk menatapinya. Tatapan pria itu seperti pak Taufik. Teduh namun mampu membuat orang yang ditatapinya segan dan tegang.

Serenade [Selesai]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant