Sebuah Keberuntungan

324 21 0
                                    

Tak terasa hampir setahun sudah Dimas menghilang tanpa kabar. Cowok itu tak pernah muncul, bahkan lewat dunia maya sekalipun. Facebook, Twiter, Instagram, semua akun sosmed Dimas sudah Ririn kunjungi. Namun tak ada pembaruan sama sekali. Sepertinya cowok itu benar-benar menghilang.

Dewi dan Ardan sudah sering menelpon ayahnya. Katanya Dimas baik. Yang aneh, tak pernah sedikit pun ayahnya memperbolehkan bicara langsung dengan Dimas. Ayahnya terlalu banyak beralasan. Entah mengatakan Dimas sedang sekolah, bahkan sampai malam hari di mana Dewi sangat paham dengan keadaan adiknya itu bahwa tak mungkin keluar di malam hari, ayahnya selalu bilang sedang menginap di rumah temannya. Terkadang juga bilang sudah tidur. Sangat ganjil. Dewi tahu benar Dimas tak pernah tidur sebelum pukul sembilan. Makanya untuk membuktikan semua kebenaran perkataan ayahnya, Dewi berencana pulang dalam waktu dekat. Hanya demi memastikan Dimas baik-baik saja.

Selama hampir setahun itu pula Ririn harus kembali pada dirinya yang dulu. Bintang lolos masuk SBMPTN ITB. Dan mereka berdua hanya sering bertemu di dunia maya. Sekadar berbagi pengalaman baru. Mungkin bisa dibilang Ririn masih sama galaknya-karena memang begitulah dirinya. Tapi dia lebih banyak diam. Menorehkan semua yang dia rasakan dalam sebuah diary kecil. Banyak berahasia. Bahwa dia sangat merindukan Dimas dan Bintang.

Kadang Ririn menyesal mengingat dia berpisah dengan Dimas dalam keadaan bermusuhan.

Seperti saat ini ketika Ririn berdiam diri dalam kelas. Anak-anak lain sudah pulang. Lagi-lagi sama seperti saat itu. Di mana Dimas tiba-tiba datang dan ingin modus. Lalu mentah-mentah Ririn menolak.

Cewek itu duduk di kursi guru. Rambutnya yang sudah dipotong agak lebih pendek diikat ekor kuda. Matanya menerawang jauh foto Dimas dalam kalender ketika dianugerahi sebuah piala hasil otak tokcernya. Dia tersenyum mengingat dengan konyolnya cowok itu bergaya rock and roll ketika foto bersama Pak Taufik. Kacamata yang berbingkai besar itu mengilat. Wajahnya selalu terlihat lucu saat memakainya.
Tak dapat dipungkiri. Ririn sangat merindukan Dimas. Bahkan bisa dibilang presentase kerinduannya pada Dimas melebihi kerinduannya pada Bintang. Ririn rindu kejahilannya, rindu adu mulut dengannya, rindu curhat bersamanya, rindu bolos bareng, pokoknya rindu semua yang pernah dilakukannya bersama Dimas.

Seperti sebuah backsound, instrumen biola yang khas kedengaran romantis sekaligus menyentuh hinggap di telinga Ririn. Cewek itu menegakkan wajah sambil menyeka setitik air yang hampir mengucur dari pelupuk mata.

"Tangis seorang bidadari. Nyatanya tak kunjung reda. Tetesnya menghujani setiap kenangan. Di mana ujungnya tergores luka. Dia tak pernah tahu. Bila ada yang diam-diam perhatian. Seorang lelaki biasa dan sederhana. Tampaknya bertangan kosong. Namun sebenarnya menggenggam cinta tak kasat mata. Harapannya terlalu muluk. Mendambakan hati sang bidadari jatuh ke rengkuhannya. Mewarnai sisa hidup. Dan menemaninya hingga tiada lagi napas terhela."

Beberapa detik setelahnya Ririn masih terpana. Tepatnya pada cowok yang berdiri di ambang pintu kelasnya itu. Cowok yang baru membacakannya sebuah puisi. Dia tersenyum dan melangkah mendekati Ririn.

"Lo-lo lagi ngapain?" Entah apakah karena kege-eran Ririn sedang kumat, hatinya terasa melambung tinggi. Rasanya senang, tetapi juga malu.

"Cuma pengen mampir, hehehe," tawanya seraya menggaruk tengkuk yang tak gatal. Kelas tiga itu, Ririn dan Andri memang sudah tak sekelas lagi. Mereka hanya bertetangga.

Cewek itu menanggapi dengan ber-oh pendek. Meski kelihatan merespon biasa, jantung Ririn tengah berguncang hebat. Mengharap sesuatu istimewa yang berkaitan dengan isi puisi itu. Berharap status sendiri yang saat ini disandangnya akan segera berakhir dan menemukan dunia yang baru.

Serenade [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang