Salah Paham

316 24 2
                                    

"...will love you, Baby..., always. And I'll be there, forever and a day..., always."

Anjani menggerakkan badannya ke kanan dan kiri menghayati setiap lirik dari lagu Always yang dinyanyikan Dimas dalam versi yang lebih slow lagi dari aslinya. Dimas sangat membuat Anjani terbuai oleh suara merdunya. Seolah-olah lagu itu diciptakan oleh Dimas sendiri teruntuk pacarnya, Anjani. Di tambah lagi suasana taman yang selalu terasa tenteram. Taman ini memanglah tempat andalan bagi mereka berdua untuk berduaan. Dijamin nggak bakal ada orang yang gengges. Tiap ada di sana, dunia selalu terasa milik mereka berdua saja.

"I'll be there, till the stars don't shine. Till the heavens burst. And the words don't ryhme. And I know when I die, you'll be on my mind. And I'll love you, always...."

Anjani memberi tepukan tangan kecil begitu Dimas berhenti bernyanyi.

"Kamu seneng, kan, Ann? Udah nggak ada yang ngeganjal lagi? Kalo ada, pokoknya kamu harus cerita semuanya sama aku."

Anjani berisyarat lewat anggukan dan senyuman manisnya yang membuat pipinya berlesung. Dimas ikut tersenyum senang. Dia suka Anjani yang begini.

"Gitu, dong. Senyum terus tanpa beban, ya? Aku mau liat kamu gini terus."

"Dim, aku bukannya cemburu atau sesamanya. Cuma pengen tau aja, sih. Kamu sedeket apa, sih, sama Ririn?"

Dimas tertegun di atas gitarnya. Padahal sehari ini saja dia tidak mau membicarakan soal Ririn. Dia ingin melupakan semuanya tentang Ririn. Terlebih tentang perasaannya. Sayangnya, dia harus membicarakan nama itu pada pacarnya sendiri.

"Jadi gini. Suami mbak Dewi itu kakaknya Ririn. Cuma hubungan keluarga gitu, sih. Nggak ada apa-apa, kok. Kamu nggak perlu cemburu," terangnya singkat sambil menahan rengutan wajah ketika melafalkan nama cewek tomboi itu.

Anjani ber-oh pendek. Lumayan lega mendengar penjelasan Dimas. Dulu Dimas sering cerita tentang kakak perempuannya yang cerewet abis. Bahkan tak jarang Dimas mengajak Anjani untuk video call-an bersama kakak Dimas tersebut. Jadi dia lumayan tahu banyak tentang Dimas. Kecuali hubungannya dengan Ririn, juga tentang ayah Dimas yang memang sengaja dirahasiakan oleh cowok itu sendiri. Lalu Anjani ingat sesuatu. Pertanyaan yang sebenarnya sudah dari dulu ingin dia tanyakan. Tetapi selalu lupa untuk mengajukannya.

"Terus kalo sama kak Bintang? Kayaknya wajah kalian mirip, ya?"
Dimas tertegun lagi. Dia tidak tahu kenapa bisa Bintang semirip itu dengannya. Dan dia benci mengetahui wajah langkanya-
-menurut Dimas-ternyata juga ada yang menyamai.

"Kalian masih satu keluarga?"

"Kalo yang itu, aku juga nggak tau sih, Ann, kenapa muka Bintang itu mirip sama aku. Tapi enggak, kok. Kenal dia aja waktu aku baru masuk STUDI. Lagian, gantengan pacarmu ini dong, Ann. Iya, kan?"

"Enggak, tuh! Ganteng juga Shawn Mendes!"

"Cause I know I can treat you better, than Shawn can. And any girl like you deserve a gentleman." Dimas menunjuk dirinya dengan telunjuknya ketika mengucapkan lirik 'gentleman' sambil mengangkat kedua alis.

"PD stadium lanjut kamu, Dim! Hehehe...."

"Nggak PD nggak idup dong, Ann," ringis Dimas.

Serenade [Selesai]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ