Mulai Suka

240 24 0
                                    

"Halo?" panggil seorang lelaki dari seberang telepon diiringi suara klakson mobil dan motor. Mungkin orang itu sedang berada di jalan raya yang sedang macet.

"Iya, ada apa? Kamu sudah menemukan jejak?" Jaya menyeruput kopi hangat dari cangkir kecil di tangannya. Sementara tanganya yang lain terus memegangi telepon. Saat ini dia tengah duduk santai di ruangan pribadinya. Yang tetap terang meski tanpa lampu. Matanya menerawang jauh ke arah foto keluarganya di atas LED TV.

"Maaf, Pak. Tapi kami belum menemukan satu jejak pun dari anak Bapak. Kepala sekolah mengatakan bahwa anak bapak sudah lama di drop out karna tidak masuk selama empat hari berturut-turut dan melakukan pelanggaran lainnya. Dan kami sekarang sedang menuju ke kediaman Bapak. Tapi kondisi jalan sekarang sedang macet. Kami sudah di sini selama hampir satu setengah jam, Pak. Maaf bila nanti kami terlambat."

"Drop out? Hehe, dasar anak bandel. Tapi bagus kalau gitu. Saya nggak perlu mengurus kepindahannya. Oke, nggak papa. Kita lanjutkan besok. Dan kamu tenang aja. Saya masih punya sopir untuk mengantar saya ke club. Selamat menikmati kemacetannya, haha," tawa Jaya menggema menutup percakapannya dengan seseorang yang bersuara lewat telepon tadi. Sejak dia mengetahui bahwa anaknya kabur, Jaya belum juga menemukan anaknya tersebut.

Senyum sinisnya merekah sambil menatap tajam anak laki-lakinya dalam foto itu. "Kamu emang bandel. Tapi ternyata kamu juga pinter, ya? Apalagi untuk main petak umpet...." Dia tertawa berdeham.

♪♪♪

Bintang memberhentikan motornya di depan swalayan sesuai janjinya dengan ibunya dalam SMS. Tak lama kemudian, dari gerbang utama swalayan, seorang wanita berambut sebahu keluar dengan membawa berduyun kantung plastik hitam yang tampak membuatnya agak kesulitan untuk berjalan. Bintang segera berlari pada wanita itu dan menolongnya.

"Sini, Bu. Biar Bintang bantu bawain." Bintang segera merebut beberapa kantung plastik yang memenuhi lengan ibunya.

Bintang kemudian menautkan alis matanya heran begitu menyadari ibunya yang tersenyum haru padanya. "Ibu kok senyumnya aneh, sih?"

Ariana—nama wanita tersebut—tersenyum sambil membuang napas. "Tadi ada copet yang ngambil tas—"

"Terus copetnya kabur?!" potong Bintang dengan emosi yang mulai mengapi. Dia meletakkan bawaannya seperti hendak bersiap-siap mencari copet yang dikatakan ibunya itu dan menghajarnya.

"Ssstt...mentang-mentang cowok ketua taekwondo," sergah Ariana sambil tertawa ringan.

"Yah, Ibu. Kan, Bintang, khawatir...." Kali ini Bintang dapat berekspresi, meski itu cuma rengutan karna cemas.

"Iya. Tapi tadi ada anak cowok yang nolong Ibu. Dan... nggak tau, apa mungkin ini cuma kebetulan. Tapi, wajahnya mirip sama kamu, Bin," jelasnya, "Dan dia pakai baju identitas sama kayak kamu. Namanya... eh, tunggu ibu lupa. D, Di..."

Sementara Ariana mengingat-ingat, Bintang merenung. Dia tahu siapa yang dimaksud ibunya.

"Di... Dias? Eh, iya bukan, ya?" terkanya.

"Dimas," ralat Bintang.

"Iya, kamu bener! Kamu kenal dia?" Ariana tampak berantusias sekali untuk mengetahui siapa cowok bernama Dimas itu.

"Sekelas sama Ririn. Bahkan dia nge-kost di kostannya Ririn, Bu. Emang... semirip apa, sih, Bintang sama Dimas?"

"Semirip...." Pikiran Ariana mulai menjelajah ke masa lalu. Kenangan pahit itu mulai berputar layaknya film dari kaset usang yang lama tak terputar. Tersendat-sendat. Wanita itu lupa-lupa ingat. Namun dia segera menepis ingatan itu jauh-jauh.

"Cuma mirip aja, kok. Nggak usah dipikirin. Nggak penting. Udah, yuk, pulang. Udah sore." Wanita itu berjalan mendahului Bintang. Sementara Bintang masih saja terheran-heran. Seolah... ibunya mengalihkan pembicaraan.

♪♪♪

Gerak-gerik Ririn berubah setelah Dimas datang lebih dekat dengan keberadaannya yang sedang berdiri di depan pintu kamar kost Dimas. Lalu dia diam dan meliriki Dimas dengan tatapan menginginkan sesuatu. Dimas berhenti sesaat dan mengamati cewek itu seraya berkacak pinggang.

"Kena sawan di mana, Mbak?" ledek Dimas. Ririn cemberut. Bayangan ayah Ririn seketika lewat dalam pikiran Dimas setelah mengamati cewek tomboi tersebut. Dimas jadi bingung. Kalau dia nggak bilang, ah, rasanya mulutnya gatal. Tapi kalau Dimas mengatakannya, apa Ririn bakalan sedih? Ya, sudahlah. Biar jadi rahasia Dimas saja.

"Gue akuin lo berhasil jadi pacar Anjani. Selamat. Dan seperti yang waktu itu lo bilang, mau ngasih PJ-PJ yang istimiwir, kan?" tagih Ririn.

Dimas tertawa remeh. "Jadi lo nemuin gue cuma mau nagih janji? Minta apa? Gue jabanin, deh!"
 
Ririn tersenyum.


♪♪♪

"Woaahhh!!!" pekik Ririn girang ketika mempercepat kecepatan aoi di atas jalan aspal.

Jalanan yang sedang dilalui Ririn adalah jalan penghubung antarkota yang sudah lama tidak dipakai lagi oleh sebab ada jalan baru yang jaraknya lebih dekat daripada jalan ini. Jadi jalan ini sangat sepi. Jalan ini mengantarai perbukitan dan persawahan orang-orang. Biasanya, jalan ini sering dipakai untuk balap liar oleh anak-anak geng motor di sore hari. Tapi semenjak ada suatu insiden yang melibatkan para geng motor, geng tersebut diberantas habis oleh polisi. Aspalnya masih bagus dan halus. Masih ada juga sisa-sisa cat pilok yang disemprot di atas aspal bertuliskan 'START' di ujung jalan sebelah utara dan 'FINSIH' di ujung jalan sebelah selatan, di mana di kedua ujungnya ada sebuah papan yang menunjukkan 'dilarang lewat jalan ini'.

Di jok penumpang yang lebih tinggi dari jok kemudi, Dimas duduk dengan muka pasrah. Ririn benar-benar gila kalau sudah mengendarai motor. Apalagi motor Dimas yang bisa dilajukan dengan kecepatan tinggi. Dimas sendiri sengaja membonceng Ririn demi menjaga keamanan.

"Nyari mati jangan di sini, lo, Rin. Lo mau jadi arwah si tomboi jalan aspal bekas, ha?"

"Ya entar kita duet bareng di film horor. Jadinya arwah si tomboi dan arwah si raja gombal jalan aspal bekas!"

"Buset nih bocah. Eh, tapi entar lo ganti bensinnya, lhoh, ya?"

"Siap!! Wuuuu!!"

Dimas menarik napas. Dia tersenyum merasakan wangi rambut Ririn yang beterbangan. Ternyata keinginan Ririn untuk meminta PJ-PJ dari Dimas jauh lebih sederhana dari yang Dimas bayangkan. Dimas kira Ririn mau minta pulsa, atau ditraktir, atau apalah yang membuat Dimas harus mengeluarkan uang dari dompetnya. Tapi inilah PJ-PJ dari Dimas yang menurut Ririn paling istimewa. Bisa naik motor ninja, sebenarnya itu impian Ririn dari dulu.

Entah kenapa lama-lama Dimas merasa senang membonceng Ririn. Dia merasa terbang dengan motornya yang melaju kencang. Dimas merasa bebas. Mungkin dia tidak memperoleh keamanan seperti yang dia inginkan. Tapi setidaknya dia memperoleh sesuatu yang membuatnya tidak terlalu takut untuk membonceng cewek itu untuk menjaganya.

Sebuah kenyamanan.

♪♪♪

Serenade [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang