Modus Berakhir Kasus

287 21 0
                                    

"Beneran aku nggak perlu nganter?" tanya Dimas pada Anjani di seberang telepon.

"Beneran, Dim. Aku sendirian aja. Nggak papa, kok."

Tok...tok...tok...

"Sebentar!" seru Dimas setelah mendengar pintunya diketuk seraya menjauhkan ponselnya . "Ya, udah. Hati-hati, ya," sambungnya pada Anjani di seberang sana.

"Oke, oke."

Tut tut tut...

Dimas beranjak bangkit untuk membukakan pintu. Di balik pintu, Ririn berdiri sambil tersenyum. Rambutnya dikuncir kuda seperti biasa, memakai kaos Army dan celana jins selutut.

"Lo mau ada janji sama Anjani?" tanyanya dengan wajah sok polos.

"Enggak. Emang mau apa? Ngajak makan, ya? Bentar deh, gue mau ngerjain laporan sejarah dulu," katanya dengan wajah yang tampak bersemangat. Kebetulan juga saat itu Dimas sedang lapar. Dari pada makan di luar, kan mending makan di rumah ibu kost tercinta.

"Ih, ge-er. Gue ke sini mau pinjem gitar lo. Boleh, kan?"

Datang-datang, bukannya bikin senang malah bikin Dimas kesal. Cowok itu pun menutup pintu kostnya kasar.

"Dasar pelit. Entar kuburan lo sempit, mao?!"

Dimas membuka pintu kamarnya spontan dengan wajah yang lebih santai. "Yeee, ada juga elo tuh yang bakal kena karma gegara sering marahin cogan macem gue. By the way, emang lo bisa maen gitar?"

"Ya... lagi belajar, sih. Juga buat praktek main alat musik minggu depan. Gue, kan, nggak jago main apa-apa." Ririn menggaruk tengkuknya yang sebenernya nggak gatal sama sekali.

"Makanya, tuh tangan jangan cuma dilatih buat mukul, nangkis, sama banting orang, dong. Yuk, deh, biar gue yang ajarin!"

Ririn agak terkejut. Dimas sudi ngajarin gue?

Dimas keluar lagi membawa gitarnya dan duduk di tempat duduk keramik yang dibuat di tepi taman kecil di pekarangan kost.

"Nih. Jangan bilang lo nggak tau cara megangnya juga, ya?"

Ririn tersenyum. Membuat Dimas ikut tersenyum pula. Entah kenapa, akhir-akhir ini Dimas selalu merasakan hal demikian setiap melihat Ririn. Dia sering merasa aneh di dekat Ririn. Pandangannya kerap terpaku pada cewek tomboi tersebut.

"Buat lo, yang gampang dulu, deh. Tau lagu Ayah punya Rinto Harahap, kan?"

"Ayah, Dim?" Ririn tersenyum. Tatapannya samar dan tampak miris.

Ya ampun. Dimas lupa kalau Ririn selalu sedih tiap membicarakan tentang kata yang begitu asing bagi dirinya, 'ayah'. "Eh, sori, sori. Yang lain, deh. Apa, ya? Tinggal Kenangan? Cuma lagu itu yang gue tau kalo kuncinya gampang. Soalnya dulu waktu pertama latihan, ya, pake lagu-lagu itu."

"Ayah aja, deh." Ririn mencoba menggamit senar gitar di pangkuannya.

"Yakin? Awas lhoh, kalo baper! Jangan mewek!"

"Ish, apaan sih?"

"Oke kita mulai."

Dimas membantu Ririn meletakkan jari-jarinya di atas senar tertentu sesuai cord yang digunakan. Saat itulah Dimas merasa ada sesuatu yang menyembul dalam benaknya. Hatinya terasa luluh ketika memegangi tangan Ririn dan berdiri di belakang cewek itu, melingkarkan kedua tangannya pada tubuh Ririn untuk membantunya memainkan gitar.

"Di mana... akan kucari. Aku menangis, seorang... diri...," Ririn mulai bernyanyi. Lumayan merdu.

Hati Dimas terus bergetar. Bukan cuma Ririn yang terhanyut kemasygulan lagu tentang ayah itu. Dimas juga ikut sedih dan wajah ayahnya terbayang dalam pikirannya. Papa lagi apa, ya? Tapi dia merasa nyaman di dekat Ririn. Cowok ini sudah nggak merasa jengkel lagi tiap bertemu Ririn seperti dulu, yang lebih mirip Tom dan Jerry. Hatinya sudah lebih dapat menerima keberadaan cewek macam Ririn itu di dunia ini, dan di sampingnya. Karna menurut Dimas, pertengkaran konyol mereka itulah yang menyulut sebuah ikatan di antara mereka, sebuah jalinan persahabatan.

Serenade [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang