Ini Bukan Perpisahan

389 22 0
                                    

Dimas berdiri di samping Ririn. Sama-sama menyandarkan perut pada dinding pembatas bagian depas kelas XI-IPS-1 yang dulu pernah menjadi tempat bersinggah mereka. Kelas di mana mereka pernah menjalin persahabatan dengan penuh kekonyolan.

Mereka sama-sama menatap ke bawah dengan senyum terulum, di mana sejumlah anak tengah bersuka ria merayakan kelulusannya dengan mencorat-coret seragam satu sama lain dengan tanda tangan.

Otak Dimas berputar ke masa silam, mengingat kejahilan yang dulu sering dia lakukan pada teman-temannya, beserta kenangan konyol yang dulu terjadi hampir di setiap harinya.

"Well, di sini, gue emang punya banyak temen. But, you are my best friend that i've ever found."

Semilir angin menerpa rambut Dimas. Anak-anak di bawah sana tengah berlari-lari. Ada yang jahil menyeret cewek berkacamata, kelihatannya tipe anak kutu buku yang enggan dicorat-coret seragamnya. Dia menjerit-jerit menolak perlakuan temannya itu. Lebih memilih menyimpan seragam itu mungkin, atau dilungsurkan pada orang lain. Ririn terkekeh kecil, seperti tak mengacuhkan perkataan Dimas.

"Meski kita cuma sahabatan, bukan berarti gue nganggep kalau Anjani itu lebih penting. Kalian berdua itu sama-sama penting dalam dinamika kehidupan yang gue jalani, Rin. Tanpa kalian, nggak tau deh, hidup gue bakal sekacau apa, gue bakal jadi anak yang sebandel apa. Karena kalian gue jadi semangat lagi. Makasih, ya?"

Entah kenapa Ririn merasa kalau Dimas seolah-olah menganggapnya cemburu karena Anjani sudah kembali menjadi pacarnya lagi. Tapi itu memang benar. Dan kalimat Dimas membuatnya kepedean.

"Gue tahu semuanya dari diary lo, Rin. Semuanya, termasuk perasaan lo ke gue. Tapi lo nggak perlu menjauh lagi. Gue juga sayang lo kok. Bedanya, gue sayang lo sebagai sahabat."

Kalimat Dimas itu terasa menamparnya. Membuatnya malu. Dimas ternyata benar-benar membaca seluruh isi buku diary-nya. Namun seperti kata Dimas; tak perlu menjauh.

"Kadang sahabat bisa jadi tempat berbagi terbaik kalo kita lagi patah hati. Ya, kan? Gue nggak mau kehilangan lo lagi. Tapi gue juga nggak berharap patah hati sih …, hehehe."

Ririn beralih menatap langit. Gumpalan awan putih berarak ke barat mengikuti arah angin. Dalam hati dia berharap Dimas tak lagi menyinggung hal tentang perasaannya.

"Anjani kuliah di mana?" tanyanya sebelum Dimas melanjutkan dengan topik yang lebih menyebalkan.
      Dimas melongo. Lalu tersenyum. Sok manis banget. "Anjani di UGM."
      Rirun hanya ber-oh pendek memaklumi. Penjelasan Dimas tentang dirinya dijual pada orang lain dan kuliahnya di Inggris, hingga Dimas yang mau pulang ke sana lagi besok lusa membuat Ririn merasa tak perlu bertanya.

"Lo sendiri, sama Andri, ya?"

"Di UNY? Enggak deh, kayaknya. Gue mah di deket sini aja."

"Yah LDR-an dong sama ayang Andri. Entar kalau bebebnya selingkuh gimana?"

Langsung ditamparnya lengan Dimas dengan tamparan maut sampai berbunyi keras. "Andri bukan tipe cowok kek lu ya. Sori." Yang ditampar malah cengengesan. Mungkin Dimas suka digituin.

Mereka kembali berdiam diri. Dari ekor matanya, Ririn melihat Dimas mengeluarkan sesuatu berwarna putih.

"Gue emang bukan lulusan sini. Tapi seenggaknya gue pernah jadi murid di sini. Coret-coret, yuk!"

Serenade [Selesai]Where stories live. Discover now