1!

10K 482 15
                                    

    
"Playing With Fire"

***

     Suara televisi mendominasi kamar yang seluruh temboknya terdapat berbagai poster girlband Korea itu. Kamar yang sama sekali belum pernah dimasuki oleh teman-temannya, sekali pun mereka memohon sampai menangis darah. Kamar yang sangat amat privat karna hobinya yang dulu sempat ia hina-hina.

"Halah! Korea apaan! Oplas semua itu!" Begitulah kira-kira yang ia ingat ketika Faisal menunjukkan foto  salah satu member grup Lovelyz yang paling cantik--menurutnya. Dan, sekarang dirinya menyesal pernah berkata demikian.

Matanya sekilas melirik pada poster yang menampilkan Yu Ji Ae--member grup Lovelyz--sedang tersenyum dengan sebelah mata menyipit, seketika ia meleleh.

Cantik dan imut. Pujaan hati, belahan jiwa, calon masa depan.

"Cakra!" suara pintu diketuk kuat mengalihkan perhatian laki-laki berwajah kurang ekspresi itu dari khayalannya. "Makan malam dulu!"

Bibirnya mencebik. "Ya, Ma."

"Cakra!"

"Iya! Mamaku yang cantik!" sahutnya lebih keras karna yang sebelumnya Cakra hanya membalas semalasnya.

Setelah dirasa yakin mamanya sudah turun, barulah Cakra berdiri dari sofa tunggal yang sengaja ia simpan di kamar untuk bersantai, mematikan televisi, kemudian dengan langkah gontai berjalan keluar kamar.

"Malem, Babang!" Seru Adis, adik perempuannya yang berumur empat. Berdadah ria dari kursi makan, seolah baru saja bertemu sang kakak setelah sekian lama menghilang.

Cakra nyengir, ikut berdadah lalu mengambil kursi di sebelah adiknya, mencium pipi Adis gemas.

"Mahen mana, Ma?" Tanyanya penasaran. Pasalnya ini sudah malam, dan aneh saja melihat adik laki-lakinya yang suka makan itu tidak ada.

"Dia kerja kelompok. Nanti abis makan baru Papa mau jemput dia," sahut Mama.

Cakra hanya mengangguk saja, lalu pandangannya terjatuh pada piring yang berisi tempe bacem, seketika perutnya berbunyi makin keras.

"Langsung, deh, matanya berbintang kalo ngeliat tempe," ledek papanya, membuat Cakra refleks mengerjap malu.

"Ah, Papa, bikin selera makan Cakra ilang, nih."

Kontan saja semua tertawa, tak terkecuali Adis, meski dia tidak mengerti apa yang orang-orang dewasa di sekitarnya bicarakan. Menarik minat Cakra untuk mencium pipinya lagi.

"Babang! Didis mau makan! Jangan tium-tium terus!"

Cakra tertawa mendengar Adis yang tidak pernah bisa berkata 'cium' padahal umurnya sudah cukup besar untuk tidak lagi berbicara aneh.

"Emang Adis mau makan apa, sih?"

"Batu."

Ah, ngomong-ngomong soal batu, senyum Cakra jadi surut. Dia mengingat sesuatu, yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan batu. Laki-laki itu menggaruk tengkuknya, lalu menghela nafas kesal.

   Gadis itu sudah terduduk sempurna, membuka hoodie-nya, namun masih dengan kepala tertunduk. Sebelah tangannya memegangi dada, diriingi nafasnya yang masih terdengar sengal.

Sementara Cakra sendiri, tetap berdiri seperti orang ling-lung yang tidak tau jalan pulang. Dia bingung mau melakukan apa pada gadis yang sudah dia hajar itu. Perasaan bersalah berputar-putar dalam benaknya.

Hingga ketika gadis tersebut menengadah, Cakra berjingkat kaget. Oh, lihatlah perbuatannya. Pipinya yang terkena aspal sampai baret dan hidungnya berdarah.

Favorably (Complete)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu