10!

4.7K 350 6
                                    


"Treat You Better"

***

         Bagi Farel, tidak ada yang lebih mengesalkan selain wajah kusut Cakra sejak pagi. Hingga rasanya ia ingin sekali membeli papan gilas untuk disamakan dengan wajah Cakra. Mungkin mirip. Oh, entah apa lagi masalah yang dihadapi oleh laki-laki berhidung mancung di sebelahnya itu.

Farel menopang dagu, memandang lekat Cakra hingga yang ditatap menoleh, menaikkan sebelah alis.

"Apa? Lo suka sama gue?"

Farel menyeringai. "Yes, baby," balasnya genit, membuat Cakra kontan mengetuk dahi Farel menggunakan pulpen.

Pulpen yang selalu digigit ujungnya.

Mata Farel melebar. "Bego! Bau jigong!" serunya pelan, agar tidak menarik perhatian Pak Mardi yang sedang menjelaskan.

Gantian, Cakra terkekeh. "Mampus!"

"Lo kenapa lagi, sih, Cak? Berantem sama Dira?" tanya Farel, mulai serius.

Cakra mengerjap, memajukan bibir dengan helaan nafas pelan.

"Nggak apa-apa dan nggak ada masalah apa-apa."

"Cak, asal lo tau, ya. Kita temenan dari zamannya Power Rangers merah masih jadi rebutan bocah. Gue tau lo bohong."

"Nggak apa-apa, Rel. Serius, dah." Cakra terkikik, mencoba meyakinkan sahabatnya itu jika dia memang baik-baik saja.

Sedang Farel justru memberi respon tatapan datar. "Ya, udah, pokoknya kalo ada masalah cerita aja. Gue nggak mau kayak cewek yang maksa-maksa lo ngomong."

"Lha, lagian nggak ada yang nyuruh, Tolol!" ucap Cakra disertai senyum geli, kemudian dia terdiam dengan perubahan yang pesat.

Sudut matanya melirik seseorang di sudut kelas, yang sedang serius memperhatikan guru. Cakra masih penasaran akan satu hal pada gadis galak itu.

"Rel?"

"Hm?"

"Menurut lo ... kalau ada orang tiba-tiba gelisah, keringet dingin, terus badannya gemeteran tanpa alesan jelas, itu kenapa?" tanyanya tanpa memandang lawan bicara.

Farel memiringkan kepala, berpikir. "Berarti orang itu punya trauma, phobia."

"Hah?" raut wajah Cakra berubah kaget, tangannya tanpa sadar terkepal. "Trauma?"

Farel mengiyakan. "Lo inget 'kan kalo Kak Rafi psikolog, jadi gue sedikit-sedikit tau," jelasnya pongah.

Sementara Cakra sendiri tidak menyimak penjelasan Farel mengenai kakaknya. Otaknya mendadak kosong dengan satu kata yang berputar seperti burung-burung di atas kepala.

Trauma.

Trauma.

Trauma.

      Bahkan hingga bel pulang berbunyi, Cakra masih memikirkannya. Juga perasaan yang menyulut rasa sesal dan bersalah. Cakra meremas rambutnya, menggigit bibir bawahnya sekeras mungkin, tanpa khawatir akan berdarah.

"Balik nggak?"

Segera, Cakra menegakkan tubuhnya, membereskan buku-buku lalu berjalan keluar kelas disusul Farel. Sementara Cakra tidak boleh bertatap muka dengan Alana. Lalu, ketika sudah di koridor, Farel dan Cakra bertemu Faisal. Tersenyum lebar seperti Faisal yang biasanya.

"Hoy! Ganteng!"

Mendengarnya, Cakra tersenyum angkuh. Tangannya membentuk tanda ceklis dan ditaruhnya di dagu. "Makasih," katanya.

Favorably (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang