16!

4.1K 324 0
                                    


"No Idea"

***

           "Gimana sama pekerjaan baru lo? Seneng nggak? Apa ada yang kurang, yang bikin lo nggak betah?"

Senyum Alana mengembang lebar pada Intan, sementara kedua tangannya masih sibuk dengan kegiatan mengelap kotak kemasan roti.

"Gue bersyukur banget. Makasih, ya. Padahal gue nggak pengen dibantu sama lo lagi."

"Ish, lo mah!" Intan cemberut, sedetik kemudian terkekeh. "Meskipun lo nggak mau atau nolak, gue bakal berusaha terus buat bantu lo."

Alana mengangguk-angguk. "Suatu saat gue bakal ganti ini semua."

"Nggak, nggak, nggak!"

Tiba-tiba Alana mengingat satu hal. Ujung bibirnya mengerut. "Perumahan Puri Kenanga no. 15 itu rumah siapa? Lo tau nggak?"

Intan mengambil kursi kecil lalu menggeretnya ke hadapan Alana, kemudian berkata, "oh, itu rumah Si Galem, alias ganteng kalem Farel," diiringi wajah berseri-seri.

Decakan halus terdengar dari Alana. "Pantes," ucapnya jengkel.

"Kenapa emangnya? Tadi lo nganter ke rumah dia, ya?"

Alana mengangguk. "Gue ketemu Si Cicak di sana, gue pikir itu rumah sodaranya atau siapa. Abis dia yang buka pintu."

Kikikan seketika mengalun. "Biar gue tebak, pasti Cakra gangguin lo lagi?" Intan menatap Alana penuh keingintahuan. Yang dibalas putaran bola mata oleh sang lawan bicara.

"Gue nggak ngerti sama cowok itu. Setiap ketemu gue pasti banyak tingkah."

Ingatan tentang Cakra yang barusan menahannya untuk tidak pulang terputar lagi di dalam kepala. Alana lantas menggeleng, mengusir bayangan konyol laki-laki aneh tersebut.

"Gue pikir dia ada something sama lo, Lan."

"Pala lo!" Alana bergidik. Membayangkan itu saja membuatnya bisa-bisa mendadak insomnia, apalagi kenyataan. Tidak, tidak! "Lagian dia 'kan udah punya cewek," imbuhnya datar.

"Jangan gitu!" Intan menepuk lengan Alana. "Perasaan bisa berubah kapan aja. Entah dalam situasi apa pun, kalo Tuhan udah berkehendak lo harus sama Cakra, lo bisa apa? Itu bukan lagi rangkaian manusia, lho."

"Tapi, kayaknya Tuhan lebih suka kalo gue nggak sama dia. Nggak cocok."

"Cakra itu sebenernya baik, Lan."

        Alana tidak menanggapi, lebih tepatnya pura-pura tidak mendengar.

***

     Jam demi jam terlewati, tidak terasa jiwa raga sudah berada di sekolah kembali. Cakra hanya duduk terdiam layaknya manekin di meja guru. Memang tidak sopan, tapi dia bilang, jika tidak duduk di sana sehari saja, rasanya bokong seperti ada yang mengganjal.

"Nanti yang jadi pembawa acara cewek lo, Cak." Farel tiba-tiba sudah ikut duduk di samping dengan keripik kentang di tangan, menarik minat Cakra untuk merebutnya.

"Siapa?"

"Bego! Cewek lo siapa gue tanya?" Tanya Farel, berusaha merebut keripiknya kembali. "Ini minta, tapi jangan diambil semua dong, Kampret!"

"Jomblo gue," celetuk Cakra.

"Aamiin!"

"Eh, jangan! Parah lo ngedoain temen yang jelek!"

Plak!

Farel memukul punggung Cakra jengkel. "Ini anak sebenernya kenapa, sih? Capek gue lama-lama ngeladenin lo." Dia geleng kepala. " Serius, Dira bakal jadi MC, lo nggak minat buat ngerespon sesuatu, gitu?" Imbuhnya.

Favorably (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang