17!

4K 307 6
                                    


"Believe "

***

               Kenyataan bahwa Alana tidak memiliki orang tua, kenyataan bahwa Alana memiliki satu adik laki-laki yang tinggal di panti asuhan, serta kenyataan jika Alana mengurus semuanya sendirian, membuat Cakra semakin merasa Alana terlalu istimewa.

Sejak awal menginjakkan kaki di panti asuhan, Cakra tidak sedetik pun mengalihkan pandangan dari Alana yang sedang sibuk mengurus adiknya. Alana terlihat berbeda jika bersama Hafiz, nampak lebih hangat juga penuh kasih sayang. Berbeda jauh dengan yang selama ini dirinya lihat.

Tanpa sadar kedua sudut bibirnya membentuk senyuman.

"Teh, Abang itu siapa?"

Alana mengikuti arahan jari telunjuk Hafiz, pada Cakra yang berdiri di dekat pintu kamar. Dahinya mengerut.

"Teteh juga nggak kenal," ucap kalem gadis itu, membuat senyum Cakra surut, tergantikan dengan perasaan jengkel.

Inisiatif, Cakra berjalan ke arah kasur Hafiz, duduk di pinggir kemudian mengusap rambut anak itu sekilas.

"Nama abang Cakra, temen Teteh kamu di sekolah."

Mata berkilau anak laki-laki itu mengerjap beberapa kali, kemudian tersenyum lebar. "Bukan pacaran?"

Entah Alana atau Cakra, keduanya sama-sama terkaget-kaget mendengar hal itu. Dan, yang pertama kali bereaksi tentu saja sang kakak tercinta.

"Eh, kamu belajar dari mana istilah begituan?" Gadis itu melotot, menggelitik perut adiknya gemas. Membuat Hafiz tertawa geli.

"Dari Mas Gilang, katanya kalo cewek sama cowok jalan bareng, namanya pacaran," ungkap polos Hafiz.

Cakra terkekeh ketika mendengar nama Gilang. Yang ada dipikirannya, kelak ia tidak ingin memberi nama anaknya dengan nama Gilang atau Galang. Ya, teman gilanya itu.

"Doain aja semoga beneran pacaran," celetuknya kemudian, menarik minat Alana untuk menendang kesal tulang kering Cakra. "Aduh! Sakit, Lan!"

"Jangan sembarangan makanya kalo ngomong."

        Melihatnya, Hafiz kembali tertawa, membuat Cakra lantas mencium pipinya gemas. Setelah diperhatikan, anak itu mirip sekali dengan Adis, sama-sama menggemaskan dan membuatnya selalu ingin dekat.

Kayak kakaknya, deh.

"Pipinya panas banget, Lan. Dari kapan Hafiz sakit?" tanyanya iba, sembari mengusap lembut kepala Hafiz.

Alana menarik nafas. "Katanya dari semalem, tapi Hafiz nggak mau ngomong kalo dia sakit. Baru ketauan pagi tadi," dia terdiam beberapa saat. "Pantesan perasaan gue nggak enak terus."

"Hafiz udah sehat, kok, Teteh."

Alana hanya mencium puncak kepala adiknya.

"Kamu kalo sakit ngomong, ya? Jangan bikin teteh kamu khawatir," Cakra berkata lembut, merasa harus mengambil alih.

Hafiz menunduk. "Hafiz justru nggak mau bikin Teteh khawatir, makanya Hafiz nggak ngomong sama Bunda," lalu anak itu mendongak memandang Cakra berbinar. "Hafiz 'kan mau jadi jagoannya Teteh yang nggak manja."

Favorably (Complete)Where stories live. Discover now