32!

3.3K 284 5
                                    


"Heavy"

***


              Intan tidak menyangka jika Alana memiliki kehidupan yang berat selain masalah kekurangan ekonominya. Dia bahkan memiliki musuh yang nyata di dunia ini. Intan tidak tau bagaimana lagi harus bersikap. Ia pun seakan kehilangan keceriaannya ketika tau apa yang baru saja menimpa Alana kemarin malam. Intan merasa tidak berguna sebagai teman. Ia bahkan tidak bisa menghibur Alana yang setadian diam dengan kepala bersandar pada tembok. Rasanya Intan ingin menangis saja.

"Lan."

Suara familiar itu mengusik ketenangan Intan. Mata tajamnya mengarah pada laki-laki yang berdiri di sebelah mejanya.

"Ngapain lo?" tanya Intan, sinis.

Cakra seolah tidak memedulikan keberadaan Intan. Tatapan sendunya tetap mengarah pada Alana. "Lan, gue mau ngomong sebentar sama lo. Keluar, yuk."

Bruk!

Dengan gerakan tidak tertebak, Intan berdiri lalu mendorong bahu Cakra menjauh hingga laki-laki itu menubruk meja belakangnya. Intan muak pada Cakra. Sangat.

"Jangan ganggu Alana! Pergi lo!" Jeritnya.

"Intan, please, gue harus ngomong sama Alana," Cakra mengantupkan kedua tangan, memohon, untuk pertama kali dalam hidupnya. "Please, jangan halangin gue."

Keadaan kelas memang belum ramai, tapi kejadian drama antara Cakra dan Intan pasti tak luput dari perhatian. Ada yang menganggapnya berlebihan, ada pula yang memusatkan perhatian penuh minat. Cakra sungguh tidak peduli bila harga dirinya jatuh sejatuh-jatuhnya, asal ia bisa berbicara dengan Alana, Cakra rela.

Intan mendengus. "Setelah apa yang udah lo lakuin? Katanya lo sayang sama Alana, tapi mana buktinya? Katanya lo udah putus sama Dira, tapi kenapa lo jalan sama dia lagi? KENAPA?! LO PIKIR PERASAAN ALANA APAAN? MAINAN?!"

Cakra mengusap rambutnya frustrasi. Berjongkok lesu. Dia muak mendengar kata-kata itu diulang terus-menerus di waktu berbeda.

Setelah apa yang udah lo lakuin?

Berengsek! Bahkan Cakra tidak ingat apa yang sudah dia lakukan!

"Intan." Sang empunya nama merasakan sebelah tangannya menghangat. Alana menggenggamnya. "Lo bikin gue malu," imbuh Alana.

Gadis dengan perban di pipi itu menatap Cakra yang sudah kembali pada posisi berdiri sejak mendengar suara Alana.

"Ayo, keluar."

"Lan!" Intan menampilkan wajah tidak setuju mendengar Alana justru mengajak Cakra keluar.

Alana berdiri, mendorong pelan bahu Intan agar tidak menghalangi jalan. Ia pun keluar kelas, diikuti Cakra. Mereka berdiri di depan kelas dengan Alana yang bersandar ke tembok sembari menunduk, tidak mengindahkan tatapan Cakra yang terus mengarah padanya.

"Lan, maaf semalem gue nggak nelepon lo lagi."

"Nggak apa-apa," jawab Alana santai. "Mungkin ada yang lebih penting dari itu."

Cakra menelan saliva susah payah saat mendengar nada sarkastik dari Alana. "Gue bener-bener minta maaf."

"Udah, 'kan?"

"Pipi sama telinga lo kenapa?"

Baru Cakra ingin menyentuh luka Alana, gadis itu sudah menepis tangannya menjauh, membuat Cakra tercenung. "Gue nggak apa-apa, nggak usah peduliin gue."

Favorably (Complete)Where stories live. Discover now