31!

3.2K 285 5
                                    


"Sorry For Now"

***

          "Teh Lana, kok, diem aja dari tadi? Kakinya masih sakit, ya?"

Alana terkejut oleh sentuhan Hafiz di pipinya. Ia memperhatikan anak itu sebentar sebelum akhirnya tersenyum dan memangkunya, memeluk dari belakang dengan sayang.

"Enggak. Teteh udah sembuh. Tetehkan kuat."

Hafiz tidak lagi menjawab. Ia mengayunkan-ayukan kaki di atas pangkuan Alana secara perlahan agar tidak mengenai kaki kakaknya. Lalu, ketika keduanya sedang asik menikmati keheningan di ayunan, tiba-tiba seseorang duduk di samping Alana, merangkul lengan gadis itu.

Alana berdecak. "Gilang kalo ke sini jangan bikin teteh kesel, ya," peringatnya. Kemudian ia mendengar bocah gempal itu terkekeh.

"Suara Teh Lana kayak orang lagi patah hati."

Memutar bola mata, Alana menyenggolkan bahunya ke kepala Gilang, pelan. "Jangan ngomong aneh-aneh deket Hafiz."

"Ih, aku serius. Teh Lana kayak lagi sedih," balas Gilang, suaranya memang tidak terdengar main-main sejak tadi, Alana tau. Ia hanya sedang mencoba menenangkan gemuruh dadanya sendiri dari apa yang baru saja terjadi.

Tidak mengelak. Alana memang sedang patah hati. Gadis itu menghela nafas, mememjamkan mata, lalu mengingat kembali kejadian barusan.

"Farel?"

Laki-laki yang baru saja membuka helm itu tersenyum, turun dari motor maticnya lalu melangkah mendekat. "Ayo pulang," katanya.

Alana terdiam, mengambil nafas. "Kenapa lo yang jemput?"

"Cakra lagi ada urusan. Dia--"

"Jenguk Dira?"

Senyum Farel nampak mengikis sedikit, mungkin merasa prihatin dengan apa yang terjadi.

"Lo dari kapan di sini?" Farel mengubah topik.

"Setengah jam," jawab Alana. "Yang lalu," imbuhnya setelah menghela nafas, menetralisir rasa sesak di dada. "Ayo pulang. Gue capek nunggu."

"Cakra titip maaf buat lo, Lan."

Rasanya, maaf saja tidak cukup. Saat itu, ingin sekali Alana berkata demikian, tapi ia mencoba tahu diri dengan mengisi pikiran bahwa dirinya tidak berhak melarang apa yang Cakra lakukan. Tapi, sampai sekarang, laki-laki bahkan tidak kunjung menghubungi.

Setidak penting itukah seorang Alana, hingga untuk kedua kalinya, ditinggalkan tanpa alasan?

Tiba-tiba, Alana tertawa miris, menarik perhatian kedua bocah yang berada di sekitarnya. Namun, mereka tidak berkata apa-apa. Mungkin nalurinya berbisik bahwa kakak kebanggaan mereka sedang tidak baik-baik saja. Mereka akan menjadi penurut hari ini.

***

         Untuk kedua kalinya, Dira mencoba menghindar dari tangan Cakra yang memaksanya makan. "Udah, Cak, aku kenyang."

Cakra menggeleng tegas. "Nggak, satu suapan lagi baru udah."

"Makanan di sini itu nggak ada rasanya. Coba kamu yang makan, deh," gerutu gadis dengan selang di hidung itu.

Cakra membuang nafas, menaruh mangkuk di atas nakas lalu memberikan Dira minum. "Kalo nggak mau makan makanan gak ada rasa, makanya jangan sakit," omelnya. Sementara Dira hanya tersenyum di balik gelasnya.

Favorably (Complete)Where stories live. Discover now