Bab 1

18.1K 1.1K 60
                                    

   "Kring! Kring" jam wekerku berbunyi tanda aku harus mengawali kembali hari-hari ku yang suram ini. Kulihat di kalender. Sekarang tanggal 28 juni 2050. Lalu aku tersenyum tipis memandangi tanggal tersebut. Kuturunkan kakiku dari ranjang lalu beranjak dan memperhatikan diriku sendiri di depan cermin. Tidak ada yang berubah dariku. Aku terlihat biasa saja. Bahkan aku terlihat layaknya seorang gadis berusia 10 tahun, padahal usiaku genap 16 tahun hari ini. Hanya saja tubuhku yang semakin meninggi. Teman temanku bilang sikapku kekanak-kanakkan dan sifatku yang kaku menjadikanku sasaran empuk ejekan di kelas. Tapi, menurutku aku cukup dewasa di usiaku sekarang.

     "Wizzy, cepatlah. Aku tidak ingin terlambat hari ini" Seorang gadis kecil menarik-narik tepian bajuku. Ia adikku. Ia sudah siap mengenakan seragam sekolahnya yang berwarna coklat dengan rok berwarna putih serta rambutnya yang berwarna coklat kehitaman yang di kepang dua.

     "Iya, pergilah sarapan dulu, Lizzy. Aku akan menyusul". Lalu ia beranjak dari kamarku.

   Di rumah ini hanya ada aku dan Lizzy. Rumah ini adalah Harta peninggalan ayah kami sebelum akhirnya ia meninggal karena kecelakaan mobil. Waktu itu usiaku 10 tahun dan Lizzy masih bayi. Namun belum lama ayahku meninggal, ibuku terkena serangan jantung saat sedang bertugas menjadi seorang agen mata-mata kota. Dan itu merupakan masa masa tersulit dalam hidupku. Mengurus Lizzy yang masih sangat kecil, bekerja, sekolah, memasak dan mengurus rumah sendirian.

   Tapi sekarang, Lizzy sudah lumayan besar untuk membantuku. Sepulang sekolah aku dan Lizzy mencari kaleng bekas untuk di jual, agar kami dapat makan. Dulu, sebelum Orang tuaku meninggal, aku hanya harus mengatakan apapun yang ku mau dan aku butuhkan. Tapi sekarang, butuh waktu seminggu untukku dan Lizzy dapat makan makanan enak seperti, ayam goreng, keju, dan kambing panggang.

Pernah suatu hari aku sedang sakit, dan Lizzy berangkat sekolah sendirian. Aku sudah memberitahunya bahwa jangan memungut kaleng bekas sepulang sekolah tanpaku.

Tapi, hingga senja Lizzy belum kunjung pulang dan aku mulai khawatir di rumah. Aku berjalan mondar mandir di ruang tamu menunggunya. Sesekali aku mengintip ke luar jendela. Salju di jalanan semakin menebal. Dan aku tidak yakin kalau harus mencari Lizzy di luar sana dengan keaadaanku saat itu. Pasti akan menghasilkan masalah baru.

   Akhirnya Lizzy pulang dengan keadaan yang menggigil. Giginya bergemeletuk, tubuhnya sedingin es di jalanan. Dan di tangannya menggenggam sebuah cupcake yang sangat Indah bagiku, serta di atasnya di tancapkan sebuah lilin mungil berwarna merah muda. Kubawa dia masuk. Kudukan ia di sofa yang dulunya ayah sering duduki di dekat perapian. Sofa ini favoritku di rumah. Tempat dimana aku dan ayah sering bercanda tawa dan menghabiskan waktu bersama, sepulangnya ayah bekerja. Dan ibu selalu membuatkan kami biskuit serta susu coklat panas yang lezat. Andai saja kenangan itu dapat terulang kembali.

   Kubuatkan Lizzy teh hangat, kurendamkakinya di air hangat dan ku balut tubuhnya dengan selimut tebal.
"Selamat ulang tahun yang ke 15 Wizzy!semoga kau panjang umur, tidak lagi suka melamun, semoga kita akan selalu bersama"serunya. Tanpa kusadari, butir butir air mata membasahi pipiku.

"Ayolah, aku yakin ayah dan ibu tidak akan suka melihatmu menangis seperti ini. Buat harapan dan tiup lilinya"sambung Lizzy. Aku hanya bisa mengangguk.

"Aku berharap semoga aku dan adikku yang manis ini selalu bersama, selamanya"harap ku. Kucubit gemas pipi Lizzy yang chubby, dan ia terkekeh. Lalu aku meniup lilinnya.

Aku malu sekaligus bangga terhadap Lizzy. Gadis kecil berusia 6 tahun itu mampu mencari uang di tengah badai salju demi membeli sebuah cupcake untukku. Tidak hanya itu, Lizzy jauh lebih tegar dariku dalam menghadapi masalah. Ia selalu ceria.

War of The CityWhere stories live. Discover now