Bab 6

5.1K 593 7
                                    

Aku berusaha secepat mungkin mencerna kalimat Steve. Mesin itu akan menemukan kami. Dan sekarang, kami berada di dalam gudang yang terletak di pojok ruang kepala sekolah.

Ruang gudang yang sempit dengan jaring laba laba di manapun aku memandang.

"Rogers, apa rencanamu? "Aku bertanya pada Rogers.

Tap tap tap tap tap tap tap...
Terdengar suara langkah kaki yang berirama. Sepertinya suara langkah kaki robot penghancur itu. Semua orang menjadi cemas.

"Hei Wizzy, tadi kau bertanya apa rencanaku? Rencanaku adalah kita bertarung melawan mereka"sahut Rogers.
Rogers sudah siap mengokang senjatanya dan berbisik bisik mengenai strategi penyerangan dengan dua orang temannya.
Tapi, tidak mungkin jika kami menang. Kami kalah jumlah. Aku takut Nyonya Grace dan Queensy celaka karena mereka tidak membawa senjata apapun.
Tidak. Aku belum siap. Aku belum siap untuk melawan mereka. Pasti ada cara lain untuk melarikan diri.

Aku memperhatikan satu persatu wajah orang orang disini. Nyonya Grace yang bersandar di bahu suaminya dengan wajah yang masih pucat, namun kelihatan tegar.

Kalau tidak salah nama suaminya itu, Tuan Bram. Ia memakai kacamata dan bertubuh lumayan gemuk. Tapi, ia memiliki lesung pipi yang manis di kedua sisi pipinya.

Queensy mencoba untuk terlihat tenang, tapi ia tidak dapat menyembunyikan ketakutannya. 2 orang petugas medis aku tidak ketahui namanya duduk pasrah menunggu azal datang menjemput mereka.

Aku tak tahu harus berbuat apa? Apakah aku merenung, menangis atau pasrah akan nasibku. Yang aku tahu sekarang aku harus melakukan sesuatu.

Kulihat Steve, ia sedang duduk terdiam dan mencoba berpikir harus melakukan apa?. Sama seperti di kelas. Menjadi si patung kelas.

Baiklah Wizzy, "kau harus tenang "aku memberi perintah pada diriku sendiri. Semua tidak boleh berakhir sekarang. Aku bisa melakukannya. Meskipun Lizzy sudah tiada, tapi lakukanlah untuk Lizzy yang berada di surga sekarang dan lakukanlah untuk orang orang di sekitarmu saat ini.
Aku mengetuk ngetuk dinding dengan perlahan dan menempelkan telingaku di dinding. Syukurlah, dinding dinding disini sudah agak rapuh.

"Steve, kau bisa membantuku? "Tanyaku.
"Bantu apa? "Tanyanya balik.
"Membuat jalan keluar " jawabku.

Kami memukulkan ujung senapan ujung senapan kami ke dinding. Rogers dan dua orang temannya membantu kami tanpa diminta.

Tap tap tap tap tap tap tap tap tap...
Suara langkah kakinya kian mendekat. Semakin keras pula aku memukulkan senapanku ke dinding.

"Brak!!! "Akhirnya dinding ini hancur dan jatuh keluar.

" cepat cepat, keluar lewat sini!!! "Perintah Rogers.

Satu persatu dari kami keluar melalui tembok yang kami lubangi tadi. Lubang yang kami buat cukup besar. Aku dan Steve keluar belakangan.

"Darrr!!! " bunyi pintu kepala sekolah di dobrak. Steve menariku ke luar lubang. Pasti robot robot itu telah masuk ke dalam ruang kepala sekolah.

Aku melihat di hadapanku. Dan aku tidak percaya berada disini. Pernah suatu waktu, aku dan Lizzy pulang melalui jalan pintas, berupa sebuah gang sempit yang kumuh. Baru saja setengah jalan, kami sudah di kepung oleh 4 anjing liar. Kami pun berlari dan memutar balik arah jalan kami. Tapi, diujung gang juga terdapat 2 anjing liar. Dan itulah yang aku rasakan sekarang.

Aku benar benar tidak percaya. Pastibaku sedang bermimpi. Aku menepuk pipiku. Berarti aku tidak bermimpi. Ini kenyataan yang harus ku hadapi.

Robot penghancur dan mesin peyedot manusia sudah mengelilingi sekolah Lizzy. Otakku berputar dan bekerja lebih keras dari sebelumnya.

Bagaimana kau bisa lolos sekarang Wizzy? Cara apalagi yang harus kau lakukan untuk melarikan diri? Apa aku harus menyerahkan diri kepada mesin penyedot manusia itu?.

Tidak, aku tidak seputus asa itu. Selama ini, aku dan Steve belum mengeluarkan satu peluru pun dari senapan kami. Apa mungkin ini saatnya kami menggunakan senjata yang kami punya? Agar tidak hanya menjadi pajangan yang selalu kami bawa.

Rogers menyuruh kami berjalan mengendap ngendap dari satu pohon ke pohon yang lain. Dan untunglah banyak pohon besar yang tertanam di halaman depan sekolah Lizzy. Tapi, jarak dari satu pohon ke pohon lainnya cukup renggang.
Seperti biasa, Rogers memimpin jalan sedangkan aku dan Steve berada di belakang.

Ada lumayan banyak robot dan mesin penyedot disini. 3 mesin penyedot dan sekitar 60-70 robot penghancur.
Berjalan mengendap ngendap seperti ini sangat sudlsah bagiku, karena aku harus menjaga suara langkah kakiku dan harus lebih gesit.

Cuaca hari ini berkabut dan panas. Langit langit tertutup oleh kabut sampai aku tidak bisa melihat sinar matahari.
Saat ini, kami sudah sampai di pos satpam dekat gerbang masuk. "Brukkk!!!" Peralatan P3K salah seorang petugas medis jatuh dan berhamburan. Botol obat obatan berlarian kemana mana.

Namun, untunglah mesin penyedot manusia itu tidak dengar padahal suaranya cukup nyaring. Dan semua robot penghancur telah masuk kedalam sekolah.
Tapi, satu botol obat menggelinding kearah salah satu mesin penyedot manusia hingga menyentuh kakinya.
Mesin tersebut mundur dan "praskk" menginjak botolnya. Botol tersebut pecah.
Mesin itu menoleh kearah kami dan membidik 2 orang petugas medis yang sedang memunguti botol obat obatan. Lalu mereka menghilang tersedot oleh mesin jelek itu.

Kami semua berpandang pandangan. Aku menelan air liurku. Rasanya tenggorokanku kering sekali. Aku tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Dan kenyataan yang pahit sekarang adalah kami bidikan selanjutnya.

" lari!!!" teriak Queensy. Namun, ia terbidik dan tersedot oleh mesin penyedot.

Lagi lagi aku menelan air liurku.
Robot robot penghancur berkeluaran Ari dalam sekolah. Mereka mengepung kami. Suasa menjadi sangat kacau sekarang.
Rogers dan 2 pasukan keamanan lainnya menembaki 2 mesin penyedot dengan senjata yang besar. Tapi, satu mesin penyedot berhasil kabur. Steve melirikku. Lalu mengedipkan sebelah matanya.

"Mungkin ini saat saat yang kau bilang, Wizzy" ujar Steve. Ia mengokang senjatanya.

Rogers memberi perintah agar aku dan Steve membantunya membunuh semua robot penghancur disini. Sementara ini, ia mengurusi mesin penyedot manusia.
Yang benar saja, disini ada sekitar 60-70 robot pengahancur. Bagaimana bisa kami membunuh sebanyak itu? Hanya tersisa aku, Steve, Rogers, dan dua temannya. Sementara itu jumlah mereka berlipat ganda dari kami.

Ayolah Wizzy. Kau pasti bisa melakukannya. Lakukanlah untuk Lizzy dan semua dirimu sendiri. Semua tidak boleh berakhir disini sekarang.

"Huh" aku menghela nafas. Ku kokang senapanku dan mulai membidik satu robot penghancur. Ku tembakan peluru pertamaku. Badanku terdorong kebelakang tapi peluruku berhasil menembus bagian dada robot penghancur itu. Rasanya tanganku mau remuk dan sangat pegal.

Tapi, aku terbayang satu wajah di benakku. Lizzy. Kubayangkan saat saat aku selalu memencet hidungnya, saat aku mencubit gemas pipinya dan saat aku mengepang rambutnya ketika hendak pergi ke sekolah sambil menyanyikannya sebuah lagu. Lagu yang selalu dinyanyikan ibu padaku waktu kecil. Butiran air membasahi pipiku.

Lalu kenangan pahit menghantam pikiranku. Saat aku dan Lizzy harus berpisah selama lamanya. Ku hapus air mataku.

Ku taruh semua dendamku pada robot robot itu. Merekalah yang merampas Lizzy dariku.

Semangatku bangkit lagi, bahkan mengalahkan api yang berkobar. Tak peduli pada tenagaku, ku tembak semua robot pengahncur yang ada di hadapanku. Rogers yang sedang membidik sasarannya, menyuruh Tuan Bram dan Nyonya Grace lari menjauh dari tempat ini selagi masih ada kesempatan karena disini sanavat tidak aman bagi mereka.

Aku berharap Tuan Bram dan Nyonya Grace berhasil bersembunyi di tempat yang aman. Jujur, robot penghancur ini tidak sekuat yang aku bayangkan. Mereka masih tergolong lemah. Mereka sangat mudah untuk dihabisi.

Kami sudah membasmi mesin dan semua robot penghancur disini. Kecuali satu mesin penyedot manusia yang berhasil kabur tadi.

Aku menendang nendang sisa sisa besi dari mayat mesin dan robot yang jelek itu. Sekarang, sekolah Lizzy sudah kelihatan seperti pasar loak karena besi besi bergelimpangan dimana mana.

" Aaaaaaaaaa!!!!" tiba tiba terdengar teriakan. Oh tidak! Itu suara Nyonya Grace.

War of The CityWhere stories live. Discover now