Bab 7

5.1K 571 9
                                    

   Aku dan semua orang disini menoleh ke arah sumber suara.

   Di depan gerbang sekolah Lizzy, Nyonya Grace masih terlihat dengan satu mesin penyedot di hadapannya, tapi tidak dengan suaminya. Aku cukup tau kemana perginya Tuan Bram dengan teriakan Nyonya Grace tadi.

   Ia ingin mengatakan sesuatu padaku. Jarak kami cukup jauh. Aku ingin berlari menolong Nyonya Grace. Tapi, salah satu teman Rogers mendorongku ke pos satpam dan bersembunyi. Ia menyuruhku menunduk dan ia sangat menyebalkan.

   Aku mencoba untuk berlari lagi, tapi ia menekan badanku agar tetap menunduk. Aku membaca nametagnya. Namanya Richard.

     "AaaaaaAaaaaa!!! "Terdengar teriakan Nyonya Grace yang kedua kalinya atau mungkin untuk yang terakhir kalinya. Aku mengintip ke arah Nyonya Grace, ia dan mesin itu sudah menghilang.

   Pupus sudah harapanku untuk mencari tahu apa hubungan kematian ibuku dengan semua kejadian ini.

   Kami semua berdiri dengan wajah murung. Aku mempelajari satu hal saat ini. Tidak ada yang bisa menolong dirimu kecuali dirimu sendiri.

   Aku mendorong Richard. Matanya yang biru menatapku dan wajahnya yang sangar serta tubuhnya yang berotot tak membuat ku gentar.

     "Kau egois, Richard!! " aku membentaknya.
     "Kau yang egois Wizzy, kau bisa saja membahayakan nyawa kami tadi. Aku tau kau melindunginya karena kau ingin tau tentang kematian ibumu, bukan? "Bentaknya balik.

   Aku terdiam dan mencoba meredakan emosiku. Steve memegangiku dan mengajaku duduk. Ia menawarkan minuman kalengnya padaku.

     " ini, minumlah" steve menawariku.
     "Terimakasih" balasku.
   Aku menerima minuman kalengnya dan meminumnya. Sedikit melegakanku.

   Darimana Richard tau hal itu, apa dia menguping kami?

     "Apa sekarang kau baik baik saja?"Tanya Steve.
     "Entahlah, terlalu banyak hal yang tidak kumengerti saat ini" jawabku.
   Steve mengangguk. Sepertinya ia mengerti perasaanku saat ini. Kenapa mesin mesin itu merenggut semua orang yang berarti besar bagiku.

   Lagi lagi aku menangis, mentalku sangat kacau hari ini. Steve menepuk nepuk pundak untuk menenangkanku.

   Apakah aku mampu melanjutkan hari hariku selanjutnya? Aku tidak yakin dengan itu.

   Rogers memperhatikan kami dari kejauhan. Ada kesedihan dalam raut wajahnya. Richard memandangku dengan perasaan bersalah.

   Rogers memerintah kami untuk  melanjutkan perjalanan menuju markas pusat keamanan kota. Jaraknya cukup jauh dari tempat kami berada sekarang. Mungkin butuh waktu seharian penuh dengan berjalan kaki.

   Ku hapus bekas air mata dipipiku. Aku harus kuat. Ayah dan ibu mendidikku dengan kehidupan militer. Mereka tidak akan mau melihatmu seperti ini. Aku akan membuktikan kepada orang orang di sekitarku bahwa aku tidak selemah yang mereka pikirkan.

   Mungkin sekarang sudah tengah hari.
     "Bergegaslah, kita harus bergerak cepat! "Perintah Rogers.

   Aku tahu Rogers pasti merasa bersalah karena ia kehilangan orang orang yang menjadi tanggung jawabnya. Aku berdiri. Kali ini tanpa bantuan dari Steve. Ku gendong ransel kesayanganku dan ku kokang senapanku.

   Untuk berjaga jaga, ku isi penuh senapanku. Dan mencoba kedua pistol yang kumiliki, berfungsi atau tidak. Aku harap, Rogers mengajarkanku cara menembak jitu karena tadi, aku sempat beberapa kali meleset saat menembak robot penghancur.

   Kami sudah mulai berjalan keluar dari lingkungan sekolah. Ketika kami sampai di seberang jalan, aku langkahku terhenti dan menoleh kebelakang. Kearah sekolah Lizzy. Terbayang di benakku setiap kali aku mengantarnya sekolah.

War of The CityWhere stories live. Discover now