Bab 5

5.6K 638 6
                                    

   Ledakan itu sepertinya berasal dari pintu masuk dekat gerbong 1. Aku terbelalak bangun. Ku guncang guncang tubuh Lizzy agar dia bangun. Kupakai ranselku, kusiapkan senapanku dan mengencangkan ikat pinggangku.

     "Cepat Lizzy"seruku. Lizzy masih mengemaskan isi tasnya. Aku berlari ke mulut lubang kelinci. Dan aku sudah sampai. Tapi, dimana Lizzy?

     "Wizzy cepat masuk ke lubangnya! "Dari kejauhan Steve berlari menghampiriku. Sepertinya ia tidur di gerbong 10 semalam.

   "Duar!! Duarr!! Duarr!!" ledakan merambat dan sudah sampai di gerbong 8. Mataku terus tertuju pada pintu gerbong 11. Dan aku belum melihat tanda tanda Lizzy dari sini.

     "Apa yang kau lakukan, Wizzy? ".
     "Cepatlah masuk!! " lanjutnya. Aku terbangun dari lamunanku, ternyata Rogers. Dan ledakan telah sampai di gerbong 10.

     "Lizzy! " aku berteriak sekuat mungkin. Aku ingin berlari ke gerbong 11 menyusul Lizzy, tapi Rogers menghalauku.

   Tunggu, aku melihat Lizzy sekarang. Ia berada di pintu gerbong 11. Ia melambaikan tangan padaku.

     "Cepat Lizzy! "Teriaku.
   Tapi... Ledakannya sudah sampai di gerbong 11 sebelum Lizzy menghampiriku.

     "Lizzy!!!"aku menangis terisak isak. Seakan akan dunia telah meninggalkanku. Dan tinggalah aku sendirian di tengah kegelapan.

   Rogers menepuk pipiku berulang kali.
     "Sadarlah Wizzy!"ujarnya menatap mataku. Ia mendorongku masuk ke dalam lubang kelinci. Aku sempat meronta ronta tapi, aku melihat robot robot penghancur telah masuk kedalam terminal melalui pintu masuk utama.

   Rogers menyusul di belakangku. Aku mendengar dari kejauhan di dalam terminal, teriakan teriakan manusia dan suara robot robot itu tentang "pemusnahan".

   Aku sudah sampai di permukaan tanah, belakang sekolah Lizzy. Tubuhku lemas, rasanya aku tak mampu lagi berdiri apalagi berjalan di atas bara api yang sedang berkobar saat ini karena aku telah kehilangan tongkat penyanggaku. Dan tongkat penyanggaku adalah Lizzy.

   Aku terduduk diantara rerumputan hijau halaman belakang sekolah Lizzy. Aku membayangkan wajah putih dan lucu, dengan rambut cokelat kehitaman yang selalu di kepang dua.

   Ia seseorang yang mengungkapkan, kenapa aku harus bertahan hidup. Ia alasan mengapa aku masih berada disini sekarang. Lalu jika ia sudah tiada, bagaiman dan untuk apa aku hidup?.

   Seketika tersirat dalam benakku, jawaban dari pertanyaanku sendiri. Untuk balas dendam Wizzy. Kau harus tetap bertahan hidup untuk balas dendam.

   Semua yang ada disini memberikan ucapan belasungkawa dan berduka cita untukku atas kematian Lizzy. Tapi kata kata itu tidak ada artinya untukku.

   Steve duduk di sampingku,
     "Kau tahu? Terkadang semua yang kita sayangi harus pergi tanpa meminta izin kepada kita" ujar Steve.
     "Dan terkadang kita yang dipaksa untuk mengikhlaskannya" sahutku.

   Aku menyandarkan kepalaku di pundak Steve, agar bisa berbagi beban bersama. Baru kali ini, semenjak orang tuaku meninggal, aku mempercayai seseorang untuk berbagi beban seperti ini.

   Meskipun ada Rebecca sahabatku, tapi aku selalu menyembunyikan sesuatu yang tidak bisa ku katakan padanya dan kepada siapa pun.

   Tidak banyak yang berhasil lolos dari ledakan di terminal. Hanya aku, Steve, Rogers dan dua orang teman pasukannya, dua orang petugas medis, seorang gadis yang seumuran denganku serta sepasang suami istri yang mungkin berusia 30 tahun.

   Aku menghapus air mataku. Mencoba berhenti untuk menangis dan menjadi seorang gadis yang cengeng. Lagipula tidak ada gunanya aku menangis, itu tidak akan mengembalikan Lizzy ke pangkuanku.

War of The CityWhere stories live. Discover now