Bab 3

7K 739 7
                                    

     "Ah! Mataku silau"teriak Steve, sambil melindungi matanya dari sinar ini. Aku juga merasakan hal yang sama. Tapi aku harus tetap melihat kedepan agar tetap hidup. Itu robot penghancur. Ada 3 robot penghancur di depan jalan.

     "Mundur Steve! "Aku menarik tangan Steve.
     "Sekarang apa? "Tanya Steve. Kami terjebak. Kami benar benar dalam masalah sekarang. Tembok di belakang menjebak kami. Kedua sisi kami, bangunan tinggi.

   Okey, Wizzy. Tenang. Aku memberi perintah pada diriku sendiri. Semua tidak boleh berakhir sekarang. Aku pasti bisa melewatinya. Demi Lizzy. Tiba tiba mataku tertuju pada sebuah jendela di bangunan sebelah kanan kami. Kuambil kayu di samping kakiku. Kupecahkan jendela itu.

     "Lewat sini! "Seruku. Lalu perlahan, kami masuk agar sisa sisa pecahan jendela tidak melukai kami. Kami pun langsung naik tangga menuju lantai atas. Di lantai 2,terdiri dari kamar kamar. Terdapat 4 kamar dan satu ruang tengah dengan satu sofa dan satu televisi.

     "Sebaiknya kita periksa satu persatu kamar disini"usul Steve. Aku pun mengangguk, iya. Kami memeriksa kamar dimulai dari samping kiri tangga. Kamar pertama berisi barang barang kuno yang lumayan menakutkan. Pasti penghuninya tertarik pada hal hal spiritual. Kamar kedua, kamar ini yang paling kusuka.

    "Sepertinya kamar seorang pemburu" ujar Steve.
    "Mungkin, dan jika begitu, kamar ini menguntungkan kita"sahutku.
     "Maksudmu? "
     "Kau tahu, memakai seragam sekolah sangat tidak cocok untuk saat ini. Kurasa kita bisa meminjam beberapa pakaian disini"kataku membuka lemari pakaiannya. Baju baju disini membuatku terpesona.

     "Menurutmu apakah robot robot itu mengikuti kita hingga kemari? "Steve bertanya lagi dan aku hanya menggelengkan kepala untuk menjawabnya. Aku masih terpesona pada pakaian pakaian ini. Ada banyak baju disini. Tapi, aku hanya tertarik pada salah satu baju berwarna hitam pekat. Baju ini berbahan kulit, lengannya panjang hingga pergelangan tangan dan bagian kakinya sampai mata kaki. Di siku dan lututnya terdapat pelindung. Kuambil bajunya yang tergantung rapi di gantungan baju.

     "Kau harus keluar sekarang"aku mendorong Steve keluar dari kamar sambil sedikit terkekeh.

   Aku mengganti seragam sekolahku, menggantinya dengan baju yang kuambil dari lemari. Pakaian ini cukup pas di tubuhku. Sepertinya ini memang ada disini untukku. Hanya saja bagian betis yang agak longgar karena tubuhku yang kurus. Ku bongkar lemari pakaian tua ini, untuk mencari pakaian serupa untuk Steve. Tapi, tidak ku temukan hanya gaun gaun pesta dan pakaian musim dingin yang tersedia disini.

   Aku memeriksa  di balik lemari, ada tumpukan kain berwarna hitam. Ku raih kain itu.

     "Wizzy kau sudah selesai? " Steve mulai mengetuk ngetuk pintu kamar.
     "Tunggu..... Se.. Ben.. Tar"jawabku.
Ah! Akhirnya aku dapat meraih kain itu. Ternyata kain hitam ini berbahan sama dengan pakaian yang kugunakan ,modelnya sama, hanya ukurannya yang lebih besar dari yang ku kenakan. Kurasa ini cocok untuk Steve. Kulitnya yang pucat akan lebih bercahaya ketika mengenakan ini.

   Kubuka pintu kamarnya,
     "Masuklah! Aku ada sesuatu untukmu"kataku.
     "Wizzy... "
     "Apa? "
     "Kau terlihat berbeda"
     "Apa aku terlihat aneh?"
     "Tidak, kau hanya terlihat lebih cantik dan kuat"Steve tersenyum padaku.
     "Okey, si patung kelas, ini. Pakailah!"Kuserahkan pakaian itu pada Steve.

   Si patung kelas adalah julukan Steve di kelas karena ia tidak pernah beranjak dari tempat duduknya dan ia selalu tertutup sepertiku. Tapi, aku masih memiliki Rebecca sebagai sahabatku.

   Meskipun begitu, Steve adalah idola sekolah. Banyak gadis gadis baik kakak kelas maupun adik kelas yang menyukainya dan menjadi penggemarnya. Tidak jarang yang mengantarkannya kado ataupun kotak makan siang dengan surat di kepadanya. Namun ia selalu menolaknya. Aku ingat, saat adik kelas mengirimkannya kotak makan siang yang manis berwarna merah dengan hiasan pita berwarna pink. Steve menolaknya, lalu adik kelas itu menangis keluar dari kelasku. Sungguh Malang gadis itu. Aku dan Rebecca hanya bisa
mentertawakannya setelah pulang sekolah.

War of The CityWhere stories live. Discover now