Bab 30

3K 385 16
                                    

   Aku berlari masuk ke dalam gedung Walikota. Aku harus mencegah semua ini sebelum menjadi lebih buruk. Saat inilah penentu masa depan kota kami. Aku masuk ke dalam lift dan naik ke lantai paling atas tempatku, Steve dan Rogers turun tadi.

   Pintu lift terbuka. Tidak ada siapa-siapa disini sama seperti sebelumnya. Aku menaiki tangga yang melingkar-lingkar lalu sampai di bagian atap gedung.

   Seorang pria dengan pakaian perang  berbadan besi sedang mengotak-ngatik sebuah mesin. Mesin yang menghancurkan radiasi pada langit-langit. Oh, aku tahu sekarang. Kondisi langit-langit itu menambah kekuatan Destrucprotic dan Humansprotic agar menambah menang dalam perang.

     "Hei! Hentikan itu!" teriaku. Ia menoleh padaku. Kami sama-sama saling menghampiri. Aku membidiknya tepat pada jantungnya. Ia berhenti.

     "Lawan aku, satu banding satu"  ujarnya.

     "Siapa dirimu sebenarnya?!"

     "Putra dari pria yang kau bunuh!".

   Aku mengeryitkan dahi.

     "Aku, Thomas Vandencrip".

     "Walikota memiliki seorang putra?"
     "Jangan banyak bicara!"

   Ia mengambil pedang disaku yang melekat dipingganggnya. Aku semakin semakin membidiknya. Ia berlari dan mendorongku, bahkan anak panahku belum sempat mengenai tubuhnya. Ia merampas senjataku lalu melemparnya. Aku terbaring dengan tindihannya.

   Aku berontak, aku mendorongnya, hingga jauh dari tubuhku. Aku mengambil pedangnya yang lain di sisi kanan pinggangnya secepat kilat.

   Sekarang kami seri. Kami sama-sama memiliki pedang.

   Aku memasang aba-aba dan Thomas juga begitu. Aku belum pernah melakukan ini sebelumnya. Tapi kuncinya aku harus fokus  pada setiap serangan Thomas.

   Thomas mengarahkan pedangnya pada perutku tapi aku menghalaunya. Pedang kami saling beradu. Ia terus mendorongku untuk mundur hingga aku terjebak di tepi atap gedung. Pedangnya terus menekan pedangku hingga tubuhku sudah hampir terjatuh ke bawah sana. Aku melihat ke bawah, kepalaku langsung terasa pusing, mataku berkunang-kunang, pandanganku kabur. Aku melihat 2 Thomas yang sedang menekanku. Jika aku terjatuh, maka entah apa yang akan terjadi nanti.

   Aku teringat. Aku masih mempunyai janji. Aku harus menepati janjiku pada ibu.

   Ku dorong balik Thomas saat dia lengah. Tiba-tiba sesuatu menancap cepat kedalam perutku. Thomas menusukan pedangnya ke dalam tubuhku. Pedang masuk ke dalam perutku dan merobek organ-organ didalamnya. Aku bisa merasakan pedang ini menyentuh tulang rusuku.

   Darah mengalir cepat dalam tubuhku dan keluar dari hasil tusukan Thomas.

   Aku tidak boleh dan aku tidak mau kalah. Dengan secepat mungkin ku tusuk lehernya. Tepat pada batang tenggorok. Darahnya menyembur ke wajahku. Tangannya terlepas dari pedang  yang masih menancap di perutku dan tertatih-tatih mundur menjauhiku. Lalu ia jatuh, nafasnya tersengal-sengal layaknya sapi yang sedang disembelih. Aku menghampirinya dan mengucapkan salam perpisahan.

   Aku mencabut pedang Thomas yang masih menancap ini. Aku menariknya perlahan-lahan.

      "Arrgh!!" erangku. Sungguh! Aku tidak mampu menahan rasa sakitnya. Bagian pedang ini terlalu dalam menembus perutku. Pedangnya sudah keluar. Aku dapat melihat darah yang tersisa menempel pada pedang.

   Darah dari perutku terus keluar, tapi aku menghiraukannya. Aku mendekati mesin besar ini. Dan memutar saklarnya menjadi "off". Dalam sekejap petir- petir berhenti menjalar. Pusaran awan di langit perlahan-lahan menghilang. Langit-langit kembali cerah seperti semula.

War of The CityWhere stories live. Discover now