26. Gerak Mata Angin

41K 3K 272
                                    

Tidak akan ada yang mengerti keadaan hatimu lebih daripada dirimu sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak akan ada yang mengerti keadaan hatimu lebih daripada dirimu sendiri.
♡♡♡

     Hiruk pikuk jalanan Ibu Kota di pagi hari tengah menghimpit mobil yang dia tumpangi. Kirana menghembuskan nafasnya perlahan. Sesekali bola matanya bergerak ke arah kanan, mencuri pandang sang pengemudi yang sedari tadi menatap lurus ke depan.

"Kenapa?" Juna mengalihkan perhatiannya sejenak dari jalanan untuk menoleh ke arahnya.

Hari ini mereka tidak sekalipun terjebak macet lantaran jarum jam masih berada pada angka enam dan satu waktu mereka berangkat. Satu-satunya hambatan yang kerap mereka temui hanyalah rambu lampu lalu lintas yang kadang jatuh pada warna merah layaknya saat ini.

"Iya, iya... ngeliatnya gitu amat... Laper juga kan akhirnya? Tadi kenapa sih minta buru-buru berangkat? Dah dibilangin kita masih kepagian banget... mampir McD dulu aja ya?"

Kirana melihat mulut Juna menuturkan sesuatu, tetapi dia tidak menangkap apa yang dikatakan cowok itu karena pikirannya sedang memgembara nun jauh ke pelosok antah berantah.

"Mau drive thru burger McD? Ato kalo ngga, lo mau yang lain apa? Kalo emang laper ya udah kita mampir beli makanan aja dulu..." Juna menarik satu ujung bibirnya ke atas, membentuk sebuah senyum yang melelehkan hatinya yang sedang tak menentu. Cowok itu lantas mengusap-usap puncak kepalanya dengan lembut.

Aksi Juna membuat Kirana mengumpat dalam hati. Jatuh cinta benar-benar telah mengganggu jalur pikirnya. Akal sehatnya telah terkompromikan, dan dia sepenuhnya sadar akan hal tersebut.

Selama ini, tidak ada yang lebih dia benci daripada cewek yang berkelakuan tanpa sadar diri dan rasionalitas jika sudah menyangkut cowok mereka, tetapi kini, dirinya justru menjelma menjadi salah satu dari mereka.

Keposesifannya terhadap cowok itu telah membuatnya bertingkah egois untuk sesaat dan hal itu memicu rasa bersalahnya.

"Lo bilang... nyokap bokapnya Sita cerai?" Celetuknya pelan tanpa memandang Juna. Jantung Kirana berdebar menunggu reaksi cowok itu.

"Iya."

Jawaban singkat tidak bernada dari cowok itu hanya meningkatkan keresahannya. Entah mengapa keengganan Juna untuk membicarakan hal tersebut dengannya membuat dirinya merasa seperti orang asing bagi cowok itu.

"Kapan kejadiannya?" Dia kembali bertanya.

Juna melirik dirinya dari ekor matanya, cowok itu meringis tidak nyaman. "Pas kita SMP," tuturnya selang beberapa detik kemudian.

"Sumpah? SMP kelas berapa? Kok gue ngga pernah denger?" Dia yang tadinya berusaha untuk bersikap sok tidak acuh seketika berubah seratus delapan puluh derajat mendengar sepotong informasi itu.

Cinta Sejuta RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang