fifteen; the weight

25.4K 1.6K 3
                                    

Besok, gue gak apdet dulu, yaahh. Gaada stok, soalnya. Ntah sampai kapan. Orang sibuk, biasa. Apalagi ane orang penting. HAHAHAHAAPPY READING~

Nadiar menghela napas panjang sesaat setelah keluar dari ruangan Alvis. Telapak tangannya bergerak naik turun mengusap dada sebelah kirinya. Melihat penampilan Alvis yang jarang sekali itu, membuat Nadiar merasa jantungnya dag-dig-dug lebih cepat. Memang, sih, jantung selalu dag-dig-dug. Kalau tidak, ya Nadiar sudah wafat. Tapi ..., tadi itu, Nadiar hampir saja tidak bisa mengontrol dirinya. Iya, sih, Nadiar terlihat biasa saja. Ya itu karena Nadiar sudah profesional dikelilingi oleh laki-laki. Tapi, jika melihat 2 kancing teratas Alvis lepas dan membuat Nadiar dapat melihat sedikit celah kulit dada Alvis, sih ..., itu beda lagi.

Ya lord, kenapa sih, gue punya Bos gak ada jelek-jeleknya sama sekali? Kasih satu kejelekan, lah ... Pesek, kek, gendut, kek. Lah ini? Bos gue napa sempurna banget? Pengen gue bawa pulang, jadinya, batin Nadiar menggerutu.

Nadiar berdecak, menyesali kebodohannya yang tadi gemetar di bawah tatapan Alvis. Untung saja tidak kentara. Kalau ya ..., Nadiar mungkin sudah diledek oleh Alvis. Mana ada playgirl yang gugup berhadapan dengan cowok? Nadiar menghela napas panjang. "Udah, Nadiar ..., gak usah lo pikirin. Mungkin aja, itu karna lo kurang belaian pacar-pacar lo, jadi gitu."

Nadiar mengangguk mengiyakan perkataannya sendiri. Dalam hati, Nadiar terus menyakinkan bahwa ini hanya karena kurang belaian lelaki saja. Ponsel Nadiar belum kembali, dan Nadiar tidak bisa mengabari pacar-pacarnya. Tunggu saja 2 minggu lagi. Setelah Nadiar gajian, Nadiar akan langsung menghubungi salah satu pacarnya. Biar mendapat belaian sayang dan bisa ndusel manja.

Suara pintu yang terbuka dibelakannya, membuat Nadiar sontak berjengit kaget. Dan tangannya yang masih menempel di dada, kembali bergerak naik turun karena jantungnya sempat melonjak sebentar. Melihat Alvis yang berada di depan pintu balik menatapnya, Nadiar menghela napas panjang. "Bos! Ngagetin aja ..."

"Kamu sudah siap?" tanya Alvis, mengabaikan perkataan Nadiar.

Nadiar hanya mengangguk, lalu mengambil tasnya. Tanpa kata, Alvis sudah duluan berjalan dan diikuti Nadiar yang mengikuti dari belakang. Dan sampai di mobil Alvis, Nadiar langsung menurunkan cermin di mobil, lalu berkaca sambil memoleskan lipstik yang sudah luntur karena makan siang tadi.

Mobil pun berjalan, dan Nadiar kembali menutup cermin, lalu menatap pada jalanan didepannya. Nadiar menelan salivanya dengan susah payah saat rasa gugup kembali melanda.

Hah, Nadiar tidak menyangka bahwa ia se-baperan ini. Alvis itu baru berbuat baik tadi siang. Hanya karena makanan. Dan ..., apakah memang rasa lapar itu yang membuat Nadiar jadi baper? Bisa jadi. Itulah mengapa kalimat bawa perasaan di singkat baper. Karena bisa saja, berawal dari lapar, Nadiar merasa baper. O-ow.

Kalau begitu, ingatkan Nadiar untuk tidak menerima makanan dari lawan jenis saat lapar. Bahaya.

"Kok diam?"

"H-hah? Apa? Siapa? Dimana? Kenapa? Maksudnya, aku dimana? Eh, kok bego?" Nadiar menutup rapat mulutnya saat sadar jika ia menanyakan pertanyaan yang amat sangat tidak bermutu. Ini semua gara-gara Alvis! Bosnya itu mengangetkan Nadiar yang sedang melamun.  Nadiar menghela napas panjang, lalu berdecak sebal. "Maaf, Bos. Saya tadi ngelamun."

Alvis menoleh sejenak. "Oh."

Dan hening. Tidak ada lagi suara setelah perkataan tersebut. Nadiar diam karena sedang berpikir keras, sedangkan Alvis diam karena memang dia selalu diam. Atau bahkan, Alvis memang tidak menganggap Nadiar ada, makanya dia diam.

***

Nadiar benar-benar ingin segera pertemuan Alvis dengan kliennya selesai. Nadiar benar-benar tidak nyaman. Bukan akibat tempat duduk kafe ini yang tidak nyaman, namun karena tatapan orang dihadapannya yang membuat Nadiar amat sangat tidak bisa diam ditempatnya. Bukan karena gugup, namun karena tidak suka dengan kilatan nakal laki-laki itu.

Laki-laki yang berada di hadapan Nadiar ini, konon katanya adalah seorang sekertaris dari perusahaan ternama yang merupakan sekutu perusahaan Alvis. Tapi, Nadiar tidak tahu jika orang dihadapannya kini benar-benar suka menatap orang lain dengan terang-terangan, dan kilatan nakal yang tidak sopan untuk diberikan pada wanita terhormat seperti Nadiar.

Nadiar menggigit bibir bawahnya, lalu menatap pada Alvis yang sedang sibuk mengobrol dengan sesama CEO didepannya. Nadiar tidak tahu apa Alvis menyadari ketidaknyamanan Nadiar atau tidak. Yang jelas, Alvis sedari tadi hanya mengobrol tentang pembahasan proposal dan lain-lain.

"Nadiar."

"Y-ya?" tanya Nadiar gugup saat Alvis tiba-tiba memanggil namanya.

"Tolong pesankan kopi dan beberapa dessert karena sepertinya meeting ini akan memakan waktu lama."

"Baik, Bos," Nadiar mengangguk cepat, lalu berdiri. Dalam hati, ia menghela napas lega karena bisa terhindar dari tatapan tidak sopan lelaki itu. Ia berjalan ke kasir dan mulai memesan beberapa dessert dan kopi yang Alvis pesan. Setelah beberapa saat menunggu, Nadiar mengambil nampan yang di berikan, lalu membalas anggukan sopan penjaga kasir.

Kaki Nadiar agak lemas dan bergetar saat menghampiri meja Alvis. Jujur, Nadiar takut. Ia belum pernah ditatap sedemikian nakalnya dalam jarak yang dekat. Apalagi, dengan orang yang semeja dengannya. Rasanya, Nadiar bisa membayangkan bagaimana lelaki itu akan memangsnya jika ada kesempatan. Dan Nadiar amat sangat takut dengan hanya membayangkannya.

Sampai di meja, Nadiar menyimpan nampan di atas permukaan meja. Nadiar melirik laki-laki itu dari ujung matanya dengan takut-takut, lalu menyimpan beberapa makanan di meja dengan tangan yang gemetaran. Saat menyimpan dessert di meja, ia berhasil. Namun, saat Nadiar menyimpan kopi di hadapan Alvis, tangannya yang gemetar tidak sengaja menyimpan gelas dengan miring, membuat isinya tumpah dan menggenang di meja.

Nadiar menarik napas kaget. "Pak, maaf!" serunya refleks, dan langsung mengelap air di permukaan meja itu dengan tangannya. Dan itu adalah hal yang ceroboh dan malah membuat air kopi itu makin menggenang di meja dan melebar. Sialnya, air kopi tersebut melewati permukaan meja dan menetes ke celana Alvis. Nadiar kembali menarik napas kaget. "Duh. Bos, maaf, bos!"

Baru saja tangan Nadiar akan terulur ke celana Alvis, tatapan Alvis yang menghujam tajam pada Nadiar membuatnya terhenti.

Nadiar menunduk dalam. "Maaf ..."

"Pergi." ujar Alvis dingin.

Nadiar menggigit bibir bawahnya dengan kencang saat matanya terasa memanas. Tangannya kembali terulur, namun langsung di tepis kasar oleh Alvis. "Bos maaf ..."

"Pergi." ulang Alvis, dingin.

"Tapi—"

"PERGI! SAYA BILANG PERGI!"

Nadiar tersentak ke belakang dan berjengit kaget. Kepalanya terangkat, menatap Alvis yang baru saja berteriak tepat di depan wajah Nadiar. Tanpa sadar, air mata Nadiar turun melewati pipinya.

Alvis hanya membuang wajah dari Nadiar, lalu mengusap celananya yang terkena air kopi. "Pergi, Nadiar! Berhenti melawan! Dasar sekertaris tidak becus!"

Nadiar kembali menundukkan kepalanya. "S-saya ke toilet dulu, bos."

"Hm."

Nadiar mengusap kasar pipinya yang basah, lalu berlari pergi dari sana. Nadiar terus berlari, tanpa memperdulikan tatapan orang-orang kafe yang menatapnya. Mungkin, mereka melihat kejadian barusan. Namun, Nadiar tidak peduli. Ia hanya ingin menangis sejadinya di kamar mandi.

Dibentak lelaki memang adalah hal yang sangat jarang dialami Nadiar. Dan Nadiar ..., benar-benar merasa dirinya bodoh karena berharap Alvis peduli padanya.

Baru kali ini, Nadiar merasa benci pada dirinya sendiri.

Handsome CEO [Repost]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang