twenty one; heartbreak girl

21.9K 1.5K 11
                                    

Nadiar menggigit bibir bawahnya dengan gugup saat lelaki di depannya menatap intens kepada Nadiar, dan tidak berkedip sedetik saja. Seolah, lelaki di hadapan Nadiar kini memang menginginkan Nadiar ketakutan dan terintimidasi.

Mereka berdua duduk di kursi salah satu warung pinggiran yang berada di depan gedung olahraga memanah dan menembak itu. Setelah meminta izin pada Alvis dan menjelaskan siapa itu Calvin, Alvis terlihat mengerti namun sesaat sebelumnya terdapat kilatan heran di mata Alvis. Nadiar mengabaikannya karena anggukan kepala Alvis lebih penting di banding kilatan heran Alvis.

Lelaki di depannya, adalah Calvin, salah satu dari ke-4 pacar Nadiar. Calvin itu seumuran dengan Nadiar, namun benar-benar kekanakan karena sifatnya yang cemburuan dan posesif tapi cuek. Hmm, bagaimana ya cara menjelaskannya? Bisa di bilang, Calvin itu agak masa bodo pada Nadiar, tapi tidak bisa membiarkan Nadiar dekat dengan laki-laki lain.

"Tadi itu siapa?" Calvin sudah mulai membuka suara.

Nadiar agak tersentak sebelum berkedip cepat, dan berdeham untuk menenangkan diri. "Dia Bos aku."

"Siapanya kamu?"

Nadiar menatap heran pada Calvin. "Bos aku, Cal."

Calvin mendengus keras-keras. "Siapanya kamu?! Iya, aku tau dia Bos kamu! Tapi, dia siapanya kamu?! Kamu pasti punya status sama dia, kan?!"

Sebel gak sih?, batin Nadiar, entah bertanya pada siapa. Nadiar benar-benar merasa kesal, risih, dan marah di saat bersamaan. Kenapa harus teriak-teriak? Memangnya, Nadiar sudah tuli, apa? Nadiar mendengus karena pemikirannya. "Ya Bos, lah. Apalagi? Dia cuma sekedar atasan aku. Dan aku sekertarisnya, bawahannya."

"Bohong! Kamu pasti bohong! Kamu pasti ada sesuatu, kan, sama dia?" Calvin berujar dengan matanya yang memincing tajam pada Nadiar. "Kamu selingkuh sama dia? Atau kamu ...," jeda, Calvin meneliti seluruh wajah Nadiar dengan tatapannya. "... kamu udah tidur sama dia?"

Mulut Nadiar terbuka lebar, sedangkan matanya mengedip dengan cepat. Nadiar menatap Calvin lama, berharap Calvin akan tersenyum dan mengatakan bahwa itu adalah candaannya. Namun tidak. Calvin tetap menatap tajam pada Nadiar, dengan alisnya yang mengerenyit jijik. Emosi Nadiar kini tersulut. Hidung Nadiar kembang-kempis, sedangkan matanya balik menatap tajam pada Calvin. "Kenapa kamu bisa berpikiran gitu?"

Calvin malah tersenyum sinis dan bersidekap dada. "Kamu bilang kamu sekertarisnya, kan? Aku tau siapa Pak Alvis. Dia langganan di tempat olahraga Papaku. Ya, tempat olahraga Pak Alvis, Papaku yang punyanya. Dan aku tau kalo Alvis itu CEO perusahaan Gideon grup. Dan posisi sekertaris buat kamu ...," jeda, Calvin kembali meneliti wajah Nadiar lagi. Dan kali ini, sebelah alisnya terangkat dengan arogan. "... kayaknya gak mungkin, deh."

Cukup sudah! Nadiar benar-benar geram dengan pemojokan yang dilakukan Calvin padanya. Nadiar kini tersenyum manis pada Calvin. Ya, senyum manisnya. "Yah, ketahuan deh," ucapnya ringan, lalu tertawa kecil. "Kok kamu bisa tau aku tidur sama dia? Kamu kan biasanya gak peduli sama aku."

Calvin terlihat makin marah. Alisnya yang bertaut tajam dan matanya yang makin memincing adalah bukti Calvin sudah melaju ke tahap murka.

Nadiar kembali tertawa kecil. "Kenapa? Kamu baru sadar kalo kamu gak pernah peduli sama aku?" tanyanya, kemudian mengangguk seolah mengerti. "Aku udah sadar dari dulu, loh. Kerjaan kamu kan cuma larang-larang aku deket sama cowok lain. Gak pernah tuh, kamu larang aku makan pedes atau makan-makanan junk food yang gak sehat. Malah, aku yakin kalo kamu bahkan gak tau kalo aku alergi sama seledri. Ya kan?"

Calvin kini terlihat menelan ludah. Tak ada lagi kilatan marah. Yang ada, hanya kilatan gugup dan ketakutan.

Nadiar tersenyum manis. "Haduh, apa kamu bahkan tau kalo aku hampir aja di perkosa dan hapeku hilang?" Nadiar bertanya santai, lalu kembali tertawa saat melihat raut kaget dari Calvin. "Gak tau, ya? Kamu kenapa ketinggalan berita banget? Apa karna kamu gak pernah ngirim aku pesan atau telfon aku, ya? Kamu kelihatan banget gak pernah khawatir sama aku."

"Nadiar ..."

"Wow, aku bahkan kaget kamu inget namaku," ucap Nadiar lagi, lalu kembali tertawa kecil. "Cal, apa kamu bahkan tau kalo aku punya kakak cowok?"

Calvin diam, dan hanya menghela napas panjang lalu membasahi bibirnya dengan lidah. "Aku yang harusnya marah, Nad. Aku—"

"Gak tau, ya?" Nadiar memotong, kemudian kembali tertawa. Kepala Nadiar lalu menggeleng pelan. "Aku nggak marah. Kenapa kamu bilang harusnya kamu yang marah? Apa aku kelihatan marah?"

Calvin membuang napasnya perlahan. "Kamu ngomong seolah-olah—"

"Aku cuma ngomongin fakta," potong Nadiar lagi dengan tangan yang mengibas pelan. Nadiar lalu kembali tertawa. "Apa yang semua aku omongin itu salah? Apa yang tadi aku omongin itu cuma omong kosong?" tanyanya, dan dibalas dengan Calvin yang terlihat menelan ludah. Nadiar menghela napas panjang. Ia lalu mendekat pada Calvin, kemudian memegang bahu tegap laki-laki itu. Nadiar berdiri, lalu sedikit membungkuk untuk mensejajarkan wajahnya dengan Calvin, menatap lelaki itu tepat di manik mata. "Kalau tiba-tiba aku mati, apa kamu bakal tau 10 tahun kemudian, Cal?"

Calvin membuka mulutnya setengah, terlihat kaget dengan pertanyaan dari Nadiar. Calvin lalu menggigit bibir bawahnya, sedangkan napasnya mulai terengah. Tangan Calvin terlihat bergetar saat terulur untuk menggenggam tangan Nadiar yang ada di bahunya. "Nad, aku sayang kamu."

Nadiar tersenyum tipis, lalu menegapkan berdirinya. Tangannya melepaskan bahu Calvin, lalu beralih mengambil tasnya yang berada di meja.

Calvin ikut berdiri. Dan raut putus asa kini tercetak di wajahnya. "Nad."

Nadiar menoleh, lalu memberikan senyum tipis. "Aku selalu bilang aku cinta kamu, Cal," jeda, Nadiar membiarkan raut lega terlukis di wajah Calvin. Kepala Nadiar lalu menggeleng, membuat Calvin menegang. "Tapi aku gak mau lagi ngasih kalimat itu buat kamu."

Mengetahui maksud Nadiar, Calvin buru-buru memegang tangan Nadiar saat Nadiar akan beranjak pergi. "Nad, kasih aku kesempatan!"

Nadiar tersenyum lagi, lalu melepaskan tangan Calvin dengan lembut. Setelah menghela napas sejenak, Nadiar mengangkat tangannya untuk mengusap pipi Calvin. "Selalu. Dari dulu. Bahkan sebelum kamu minta, aku udah pernah kasih kamu kesempatan. Lebih dari sekali."

"Nad ..." lirih Calvin dengan kepalanya yang tertunduk. "Aku minta maaf."

"Kamu gak punya salah. Tapi, ya, aku maafin kamu," Nadiar membalas sambil mengusap wajah Calvin dengan jari jempolnya. "Calvin, di masa depan, waktu kamu nemuin perempuan lain yang ingin kamu miliki, jangan dicuekin. Ya, sih, jangan terlalu perhatian juga. Tapi, jangan terlalu cuek juga, Cal. Kamu gak akan tau kapan dia bakal ninggalin kamu. Dan kamu pasti gak ingin ngerasain sakitnya gimana orang yang ninggalin kamu selamanya itu, baru kamu denger kabarnya setahun atau bahkan sepuluh tahun kemudian. Karna yang bakal kamu dapati cuma penyesalan, Cal."

Entah bagaimana raut wajah Calvin saat ini. Yang pasti, Calvin tiba-tiba memeluk Nadiar dengan erat. Sangat erat seolah tidak ingin Nadiar benar-benar pergi.

Tangan Nadiar dengan sigap terulur ke punggung Calvin, dan membalas pelukan dari mantannya. Nadiar menghela napas panjang, lalu mendengus pelan. Sisa 3, deh, cowok gue.

***

Alvis mendengar semuanya. Awalnya, Alvis hanya akan mencari Nadiar untuk segera cepat-cepat menyelesaikan masalahnya karena Alvis masih ada keperluan. Namun, saat lelaki yang bernama Calvin itu mengatakan kata-kata kasar pada Nadiar dan respon Nadiar hanya tertawa, Alvis mengurungkan niatnya dan terdiam mendengarkan.

Tangan Alvis lalu terangkat, menyentuh sesuatu yang terasa ngilu di dalam dada kirinya.

Kamu gak akan tau kapan dia bakal ninggalin kamu.

Alvis menghela napas panjang. Ia yang tadinya berpikir ada berapa pacar Nadiar? kini beralih dan berpikir bagaimana Nadiar bisa tahan dengan lelaki kasar itu? dan juga mengapa Nadiar berkata seolah pernah merasakan kehilangan seseorang yang berarti baginya?

Handsome CEO [Repost]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang