fifty four; no promises

18K 1.1K 16
                                    

Alvis diam termenung di balkon apartemennya. Matanya menatap sendu pada langit yang sudah berwarna hitam dengan beberapa bintang yang berpedar di sekitarnya. Sudah berjam-jam berlalu saat Nadiar mengetahui segalanya dari mulut Irene. Namun, tidak ada hal lain yang dapat Alvis lakukan selain diam dan membiarkan semuanya. Membiarkan apapun yang Nadiar pikirkan, tetap bersarang tanpa menjelaskan apapun.

Lagipula, apa yang dapat Alvis jelaskan pada wanita yang dicintainya itu? Mengatakan bahwa dirinya kesurupan dan tidak sengaja melakukannya?

Jangan bodoh. Segalanya sudah jelas.

Nadiar sudah mengetahui Alvis sedari lama. Sedari Irene memilih untuk bersama Inandra daripada dirinya. Sedari ia terus menyiksa Inandra dan Irene saat dulu.

Suara dering telfon membuat Alvis terbebas dari lamunannya. Alvis menghela napas, menunduk sejenak, kemudian berdiri dan berjalan masuk ke dalam kamarnya. Ia mengambil ponsel yang masih berada di tuxedonya, kemudian mengangkat panggilan tersebut setelah melihat id callernya. "Ya, Dave?"

"Vis! Gila, lo! Kenapa lo gak ngabarin gue, hah? Kenapa lo gak bilang kalo semua kebusukan lo udah kebongkar?! Gue tau dari Dizi, gobs. Dia marah dan ngundur malam pertama kita."

Alvis menghela napas panjang. "Omongan lo kejam."

"Eh? Hehehe, gue ketularan Dizi. Maapkeun, kawan."

Alvis menutup mulutnya, enggan membalas perkataan Devan.

"Heh, lo baik-baik aja, kan?"

Alvis membuang napas pelan. "Lo tau pasti jawabannya."

"Eum ..., gue gak tau harus nyampein ini atau enggak, tapi ...," jeda, Devan terdengar membuang napas pelan. "... keluarga Nadiar nyuruh Nadiar ngudurin diri dari perusahaan. Dan mereka nyuruh Nadiar buat jauh-jauh sama lo. Mereka takut lo bisa aja berbuat jahat sama Nadiar. Yang gue heranin, kenapa Nadiar sama sekali enggak bela lo dan—"

"Lebih nurut sama keluarganya," potong Alvis, seolah tahu apa kalimat selanjutnya dari Devan. Alvis kembali membuang napas pelan. "Gue tau lo mau ngomong apa, Dave. Dan jawaban dari rasa penasaran lo adalah, karna gue penjahat. Apalagi?"

Hening.

Devan diam sejenak saat Alvis mengatakan hal tersebut. Mungkin, berpikir jika apa yang di katakan Alvis sedari dulu ada benarnya juga. Bahwa perkataan Nadiar tentang penjahat yang berhak bahagia itu, hanya bullshit semata.

"Lo bener, Vis," Devan kembali membuka suaranya. Terdengar tegas dan tajam. Saat ini, Devan sangat serius dengan apa yang diucapkannya. "Lo bener tentang tebakan lo. Tapi, apa lo bisa nebak satu hal lain juga?"

Alvis mengangkat sebelah alisnya dengan bingung. Walaupun ia tahu, jika kelakuan bodohnya itu tidak dapat di lihat oleh Devan.

"Nadiar emang nurut buat bikin surat pengunduran diri. Dia malah bikin hari ini juga. Tapi ..."

Mendengar perkataan gantung dari Devan, alis Alvis berkerut dan matanya memincing. "Tapi?"

"Dia minta kalo dia sendiri yang ngasihin surat pengunduran diri itu. Hari ini juga. Dan mungkin, beberapa menit lagi dia nyampe."

Alvis membeku sejenak. Matanya kemudian membulat saat suara bel apartemennya terdengar. Tanpa sadar, Alvis sudah menahan napasnya dengan tegang.

Suara Devan yang tertawa kemudian terdengar. "Ternyata, lebih cepet dari perkiraan."

Alvis menggigit bibirnya kuat-kuat. "Gue ...," jeda, Alvis menelan ludahnya susah payah saat suara bel apartemennya tidak berhenti berbunyi. "Kenapa harus sekarang?"

Handsome CEO [Repost]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora