twenty six; love yourself

21.4K 1.3K 9
                                    

Alden memarikirkan mobilnya di depan rumah kediaman keluarga Inandra, saat ternyata tidak ada satpam yang sigap dan biasanya langsung membuka pagar untuk kendaraan masuk. Mereka lalu keluar dari mobil dengan tangan Alden yang menggenggam erat tangan Nadiar. Alden berjalan perlahan ke arah pagar, dan ternyata pagar tersebut tidak tertutup. Alden menggeram karena keteledoran satpam rumah tersebut.

Alden berjalan masuk dengan tangannya yang semakin erat mengenggam tangan Nadiar. Dapat Alden rasakan tangan Nadiar panas dingin dan embusan napas Nadiar yang juga terasa bergerak cepat akibat takut. Alden menelan ludah, lalu menghampiri pos satpam. Dan Alden terlonjak saat kepala satpam tersebut tepat berada di satu jengkal ujung sepatunya.

"ABANG!" Nadiar memekik, lalu langsung menutup mulutnya saat Alden menatap Nadiar dengan mata tajamnya.

Mereka kembali meneruskan langkah saat melihat perut satpam itu bergerak dan menunjukan bahwa satpam tersebut hanya pingsan.

"Bang, Satpam tadi gak di tolongin?" Nadiar bertanya dengan nada bicaranya yang berbisik. "Kasian."

Alden menghela napas panjang. "Kita harus nemuin Irene dulu sebelum nolongin orang. Prioritas kita kesini siapa, coba, kalo bukan Irene?"

"Tapi satpam itu-"

"Yaudah, lo aja sana yang tolongin."

"Emang boleh?"

Alden menghentikan langkahnya, lalu menatap Nadiar dengan matanya yang melotot. "Jangan dulu! Lo inget, kan, apa yang tadi gue bilang? Bahaya, Nad! Gue gak mau lo kenapa-kenapa! Lo liat satpam tadi? Dia cowok, jago berantem, dan berbadan gede. Tapi apa? Dia pingsan, kan? Jadi, bisa di pastiin ini bukan hal yang bisa kita tangani dengan mudah."

"Tadi bukannya lo yang nyuruh?" balas Nadiar sambil cemberut.

Alden menghela napas panjang. "Gue gak serius, Nad. Gue gak mungkin biarin lo dalam bahaya."

Nadiar berdecak sebal. "Ya, ya, terserah."

Mereka meneruskan perjalanan mereka dengan masih mengendap, takut jika masih ada penyusup di dalam rumah itu. Saat sampai di pintu, Alden mengintip ke dalam, di ikuti Nadiar.

Nadiar kini menarik napas kaget, lalu memebekap mulutnya sendiri, kaget dengan apa yang dia lihat.

Ya, Alden mewajarkan. Ternyata, para bodyguard Satria sudah tergeletak di lantai dengan kondisi babak belur dan pingsan di lantai. Bahkan, ada bodyguard yang menimpa tubuh bodyguard lainnya. Melihat dari banyaknya orang yang terluka, Alden yakin penyusup itu tidak sedikit.

Suara gemuruh di dalam rumah membuat Alden dan Nadiar saling lirik. Nadiar langsung tersentak, dan berlari memasuki rumah. Alden melotot menatap Nadiar yang sudah jauh di depan. "DIAR! BRENGSEK!" serunya, lalu ikut berlari dan mencoba mengejar Nadiar.

Namun, ternyata Nadiar terlalu jauh untuk Alden capai. Dan akhirnya, mereka terhenti di sumber suara gemuruh itu.

"Nad! Kenapa lo keras kepala banget, sih?!" bentak Alden dengan nada suara pelan, takut ada penyusup yang masih berada di sini dan mendengar mereka.

Nadiar tidak menghiraukan perkataan Alden, dan langsung membuka kunci yang menggantung di kamar tersebut, lalu membuka pintu lebar-lebar.

Alden melotot saat melihat sebuah vas bunga melayang ke arah Nadiar. Langsung saja Alden berteriak, lalu menarik tangan Nadiar agar tubuh Nadiar menempel di tembok.

"Nadiar? Alden?"

Mengenali suara itu, Alden dan Nadiar langsung menghampiri kamar dan menemukan Irene yang berdiri dengan gemetaran dan wajahnya yang pucat. Ternyata, yang melempar vas adalah Irene. Mungkin, Irene mengira mereka adalah komplotan penyusup.

"Mbak Irene!" Nadiar berseru kaget, lalu berlari memasuki kamar, dan memeluk Irene yang langsung menangis di pelukan Nadiar. Nadiar ikut menangis dan menatap Irene dengan tatapan sendunya.

"Andra! Andra mana?!" Irene berseru kencang sambil menggoyang bahu Nadiar.

Nadiar menggeleng. "Gue gak tau."

"Andra!" teriak Irene, lalu terduduk dan menangis histeris. "Ini semua gara-gara gue! Dia ngincer gue! Dia maunya gue! Andra cuma korban! Gara-gara gue! Semuanya gara-gara gue!"

"Mbak ...," Nadiar ikut menangis, lalu memeluk Irene erat.

Alden menghela napas panjang. Ikut merasa sedih dan prihatin dengan kisah percintaan mereka yang memang selalu di hantui dengan ancaman berbahaya. Entah siapa orangnya, yang pasti, Satria tidak ingin memberitahu dan hanya memanggil orang itu dengan sebutan Si Psikopat Gila.

***

Mata itu terbuka perlahan, lalu tertutup kembali, kemudian terbuka seluruhnya saat rasa sakit terasa di setiap jengkal tubuhnya. Inandra mengerang, dan Alvis hanya diam menyaksikan setiap aktifitas Inandra. Mata Inandra kemudian menelusuri setiap ruangan, lalu pandangannya bertumbuk pada visualisasi Alvis. Mata Inandra melotot menatap Alvis. "LO?!" pekiknya, lalu menggeram saat akan bergerak menghampiri Alvis.

Merasa pergerakannya tertahan, Inandra menoleh ke belakang, yang ternyata ada rantai panjang yang mengikat kedua tangannya dan menempel di sebuah tiang. Inandra sendiri baru sadar jika ia terduduk di lantai dengan kedua kaki yang di pasung.

Alvis sendiri sedang duduk di sebuah kursi yang nyaman dengan tangannya yang terlipat di depan dada. Mata Alvis terus menghujam dingin pada Inandra. "Ini sebabnya kalau kamu melanggar perkataan saya."

"Bangsat!" seru Inandra dengan suaranya yang parau. "Gue bakal bikin perhitungan, Alvis! Lo liat! Setelah gue lepas dari rantai sialan ini, lo abis sama gue, BRENGSEK!"

Alvis mengangkat sebelah alisnya dengan tatapan datar. "Oh ya? Sebelumnya juga, bukannya kamu tidak memakai rantai atau apapun? Tapi, kamu tetap tidak berguna, kan?"

Inandra menggeram marah, lalu memberontak dari segala ikatan yang mengurung tubuhnya. "Gak ber-otak, lo! Irene lagi hamil! Gue suaminya sekarang! Dimana hati nurani lo, hah?! Dimana?! Irene butuh gue, brengsek!!"

"Dia butuh lo buat apa? Buat nemenin dia disaat dia hamil, gitu? Gue juga bisa." jawab Alvis yang kini tidak menggunakan bahasa formal.

Pintu ruangan tempat Alvis mengurung Inandra di ketuk dari luar, membuat tatapan Alvis teralih. "Masuk!"

Satu orang pengawalnya masuk, lalu membisikan kalimat yang sukses membuat emosi Alvis meninggi. "Irene menghilang, Pak. Dia sudah tidak ada di kamar tempat kami mengurungnya."

Seharusnya, Alvis membawa Irene sekalian dan tak membiarkan Irene di tinggal. Jika saja bukan karena pengawal Inandra yang berusaha kabur dan mencoba melapor polisi, pengawal Alvis tidak harus mengejar serombongan untuk mengepung pengawal tersebut dan memukulinya hingga babak belur.

Benar-benar bukan keberuntungan Alvis.

Alvis menghela napas panjang. "Yasudah, biarkan. Tapi, pantau terus rumah itu dan saat Irene datang, langsung tangkap tanpa menyakitinya."

Pengawal itu mengangguk, lalu keluar untuk memerintahkan anak buahnya.

"Brengsek! Jangan apa-apain Irene!" Inandra memberontak sambil menggerakan kaki dan tangannya. Matanya tetap setia menatap Alvis tajam. "Lo monster! Lo bener-bener sakit!"

Alvis mengembuskan napas panjang, lalu berdiri dengan tenang. Ia berjalan ke arah Inandra, lalu membungkuk dan menyimpan bibirnya di samping wajah Inandra. "Gue emang monster. Dan gue emang sakit. Dan inilah resiko lo gak nurutin perkataan monster yang sakit."

"BRENGSEK! JANGAN SENTUH IRENE!!" Inandra makin memberontak saat Alvis menjauhkan wajahnya dan menegapkan berdirinya. "GUE GAK AKAN MAAFIN LO SAMPE ANAK GUE DAN IRENE KENAPA-KENAPA!!"

Alvis mengedikan bahunya dengan cuek. "Gue gak akan apa-apain mereka. Tapi sebagai gantinya, lo yang akan ngerasain kehancuran," ujarnya dingin, lalu berbalik dan tidak memperdulikan teriakan permohonan dari Inandra. Saat di luar, orang-orang berpakaian hitam di sana menunduk menghadap Alvis. Sambil mengancingkan jasnya, Alvis berucap, "Buat dia babak belur, dan jangan beri dia makan walaupun dia memohon untuk segera mati."

Setelah mendapat anggukan dan kalimat, "Siap, Bos!" dari para pengawalnya, Alvis pergi meninggalkan gedung kumuh tersebut.

Alvis jahat.

Gue tau itu yang ada di pikiran kalian. Karna memang, gue bikin pemeran utama cowoknya gitu.

Handsome CEO [Repost]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang