fifty; secret love song

16.9K 1K 15
                                    

Cuman mau ngasih tau doang. Kalo semua part di cerita ini pasti berhubungan. Dan kalian boleh nebak bakal ada adegan apa ntar.

Nadiar termenung di sofa sambil menatap televisi lurus-lurus. Ya, hanya televisinya. Bukan acara yang sedang tayang di layar telvisi.

Ucapan Alvis tadi pagi masih sangat terngiang di otaknya. Dan membuat beratus-ratus pertanyaan bersarang di otaknya. Yang pada intinya, pasti berakhir dengan pertanyaan yang sama, yaitu Karna apa Alvis memutuskan Nadiar?

Apa Nadiar menyewa detektif swasta saja? Siapa tahu, Nadiar akan mendapatkan jawaban dari perkataan Alvis tadi pagi.

"KEBAKARAN! KEBAKARAN!"

"BANGSAT! TELINGA GUE!!" Nadiar menjerit kencang, lalu menjauhkan telinganya dari sang sumber suara yang berteriak tepat di telinganya. Mulut Nadiar menganga lebar melihat orang yang meneriakinya benar-benar bangsat. Yaitu, Satria. Nadiar melotot garang, lalu menampar wajah nyengir Satria. "Lo ngapain, sih?! Gila, ya? Untung gue gak punya penyakit jantung."

Satria hanya nyengir kembali, kemudian menghempaskan tubuhnya untuk berbaring di sofa dengan paha Nadiar sebagai sandaran.

"JANGAN TIDURAN DI PAHA GUE!!" seru Nadiar garang sambil mendorong tubuh Satria hingga terjatuh.

"Adaw!" Satria mengaduh sambil memegang kepala dan punggungnya yang membentur karpet. Dengan perlahan dan dramatis, Satria berdiri dengan susah payah dan langsung menghempaskan bokongnya di sofa. "Aduh, kok lo jadi kejam gini, sih, sama gue?"

Nadiar hanya mengedikan bahu sekilas, menyibak rambutnya ke belakang, kemudian bersidekap dada dengan punggungnya yang menegak.

"Lo patah hati, ya?" tanya Satria sambil mendekatkan wajahnya dan memberikan tatapan jahilnya pada Nadiar. "Karna Alvis, kan? Si brengsek itu yang bikin lo patah hati, kan?"

Nadiar menghela napas panjang. Dan saat itulah pertahanan dirinya hancur. Bahu Nadiar merosot, dan punggung Nadiar bersandar di sandaran sofa. Tatapan Nadiar menjadi sendu dan bibir Nadiar mengerucut sebal. "Kalo definisi patah hati itu nangis semaleman dan badmood tiap hari, lo bener."

"Eh gila!" Satria berseru heboh hingga merangkak di sofa. "Lo seriusan patah hati? For the first time in forever, seorang Nadiar patah hati?"

Nadiar makin cemberut dan menghentakan kakinya di karpet. "Iya!" balasnya sewot. "Gak tau kenapa, rasanya gue gak pengen pisah sama Alvis. Walaupun gue tetep bisa liat dia, kenyataan kalo dia bukan siapa-siapanya gue, bikin gue pengen nangis mulu kalo liat dia. Sebel!"

"Wah, brengsek banget si Alvis."

Nadiar menatap marah pada Satria yang mengucapkan kalimat itu dengan gampangnya. "Lo kenapa hina dia, sih?! Lo kan dulunya rekan kerja Alvis. Lo punya dendam sama dia, ya? Apa lo yang jadi akibat putusnya gue sama Alvis?! Lo jujur aja! Malem itu, lo kenapa gak balik ke rumah gue dan nggak ngasih tau apa yang lo omongin sama dia?! Jawab! Lo PHO hubungan gue sama Alvis, kan?"

"Hah? Rekan kerja?" Satria bertanya dengan wajah bingung, sebelum tertawa terbahak-bahak. "Aduh, ya, ya, gue tau banget brengseknya mantan rekan kerja gue itu!" serunya masih dengan tawa, membuat Nadiar heran sendiri. "Dan ya, gue punya dendam sama dia. Banyakkk banget!" Satria melanjutkan dengan masih tertawa. "Aduh, rekan kerja, katanya? Kreatif banget si brengsek itu."

Nadiar menatap marah pada Satria. Sejujurnya, pertanyaan yang Nadiar lontarkan barusan adalah hasil dari pemikirannya semalaman. Jika Alvis tidak memberikan jawaban, mungkin Satria bisa. Karena apa? Kelakuan aneh Alvis di mulai sesaat setelah malam di mana keduanya bertemu. Namun ternyata, bertanya pada Satria pun tidak akan membuahkan hasil karena bagi Satria, mungkin patah hati Nadiar ini bukan apa-apa. Ya, semua manusia pasti pernah merasakan patah hati. Nadiar saja yang membesar-besarkannya, seolah semua yang menimpa Nadiar pasti berhubungan.

Handsome CEO [Repost]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang