fourty eight; there's nothing holdin' me back

15.8K 1K 10
                                    

Pagi itu, sarapan di kediaman keluarga Pak Sultan benar-benar hening. Di meja makan, semuanya diam karena Nadiar diam. Setelah kejadian di mana Nadiar menangis tanpa sebab kemarin, membuat Alden harus benar-benar berpikir ekstra tentang apa yang menimpa adiknya. Pertama, Nadiar pulang dengan menangis dan tanpa curhatan apapun selain tentang matanya yang terasa panas. Kedua, Nadiar pulang pada saat sore hari, dan di kabarkan bolos kerja. Dan ketiga, Nadiar menangis begitu saat di mana malamnya Nadiar menginap di rumah Alvis.

Yang menjadi pertanyaan di pikiran Alden adalah penyebab sebenarnya Nadiar menangis. Apakah benar karena matanya kepanasan? Atau hal lain? Jika hal lain, pikiran Alden yang lumayan positif adalah; mungkin saja, Alvis menghina Nadiar atau mengusir Nadiar di sana. Dan pikiran negatif Alden adalah; Alvis sudah mengambil sesuatu yang berharga bagi Nadiar. Yang Alden takutkan, yang Alvis ambil adalah mahkota milik Nadiar.

Atau Alvis mengambil make up Nadiar? Karena kemarin, Nadiar pulang tanpa membawa serta pakaiannya ataupun make up nya. Dan barang-barang tersebut sampai di rumah saat bodyguard Alvis mengantarkannya di malam hari.

"Yah."

Di meja makan, semuanya menjadi tegang. Kecuali Nadiar, tentunya. Karena makhluk satu itu yang membuat keadaan menjadi tegang akibat panggilannya kepada Ayah.

Ayah sendiri terlihat ingin menyembunyikan ketegangannya dengan tersenyum. "I-iya sayang?" tanyanya, yang membuat kegugupannya tidak lagi bersembunyi.

Mata Nadiar menatap lurus pada piring makanannya yang saat ini masih utuh dan tidak acak-acakan, bukti bahwa Nadiar tidak menyentuh makanannya sama sekali. "Diar mau berangkat sekarang."

Ayah terlihat menelan ludah saat menganggukan kepalanya dengan cepat—bahkan terlalu cepat. "Oke, ayo kita berangkat."

Nadiar sudah berdiri dari duduknya, dan Ayah pun sudah akan pergi dari kursinya. Tapi tidak. Alden harus mendapatkan jawaban dari kediaman adiknya sekarang.

"Lo bareng sama gue," Alden akhirnya membuka suara dan membuat keadaan makin hening. Tangan Alden mengambil gelas berisi susu, lalu meminumnya beberapa teguk. Alden kemudian berdiri, lalu menatap pada Nadiar. "Gue anter lo."

Nadiar hanya mengangguk, kemudian berlalu dari tempatnya dan keluar dari rumah.

Alden menghela napas panjang, lalu menatap Ayah dan Bundanya. Keduanya seolah memberikan kalimat Semangat, nak! lewat tatapan keduanya. Alden mengepalkan kedua tangannya, lalu menunjukan kepalan tangannya kepada 2 orang di sana, seolah mengatakan Aku akan berjuang!

Dan mereka mengangguk dengan tatapan yang mengatakan Kamu pasti bisa, nak!

Alden ikut mengangguk, lalu mulai melangkahkan kakinya dengan pelan dan penuh keyakinan. Ya, Alden akan berjuang. Berjuang untuk menanyakan apa yang mengganggu pikiran adiknya dan juga berjuang untuk membuat Nadiar kembali ceria lagi.

"ABANG CEPETAN!! KALO GUE SAMPE TELAT, LO YANG GUE ABISIN!!"

"I-iya, tunggu!" seru Alden, dengan langkahnya yang seketika menjadi cepat.

***

Mobil yang Nadiar tumpangi kini berhenti tepat di depan kantor perusahaan dimana tempatnya berkerja. Kantor perusahaan milik Alvis, mantan kekasihnya. Seketika, mood Nadiar turun drastis, dan Nadiar amat sangat badmood untuk memulai aktifitasnya hari ini.

"Udah sampe."

Suara itu membuat Nadiar mengalihkan pandangannya yang tadinya menatap kantor lewat jendela, menjadi menatap Alden yang kini menatap Nadiar dengan penasaran. Nadiar membalas tatapan penasaran itu dengan mengangguk sekilas. "Gue turun."

Handsome CEO [Repost]Where stories live. Discover now