fourty six; mirrors

16.9K 998 5
                                    

Nadiar ingat saat itu. Sast pertama kali dirinya di ajak bermain di Dufan. Kelas 2 SMP, dan Satria yang mengajaknya ke sana. Hanya di depan gerbang Dufan, karena selanjutnya, yang Satria lakukan hanyalah menggenggam tangan Nadiar sambil menghadap ke arah Nadiar. "Lo denger, kan, suara teriakan itu?"

Nadiar hanya menatap datar anak yang baru saja menjadi MABA itu, dan tidak menjawab pertanyaannya.

Satria tersenyum, lalu mengelus pelan rambut Nadiar. "Yang lo liat, cuma kebahagiaan orang lain, Nad. Cuma teriakan kesenangan orang lain. Lo terlalu melihat ke atas, dan gak pernah liat ke bawah. Coba liat pengamen dan pengemis itu. Atau lebih mudahnya, liat pedagang dan badut-badut yang berkeliaran itu," Satria menjeda ucapannya, lalu menunjuk ke arah beberapa pengemis dan pengamen yang terlihat disana. "Apa lo pernah ngebayangin gimana hidup mereka? Apa lo gak pernah mikirin sedikitpun keadaan mereka di rumah? Kelaparan, dan tidur gak nyaman. Apa lo bahkan pernah melihat mereka, yang hidup di bawah lo?"

Air mata Nadiar menggengang di pelupuk matanya. Dengan cepat, Nadiar berkedip untuk mencegah dirinya agar tidak menangis, lalu menelan ludahnya dengan susah payah.

Satria yang mungkin menyadari itu, langsung menggapai tubuh Nadiar dan merengkuhnya. "Semua, bakal keliatan baik-baik aja kalo lo gak egois. Lo harus melihat ke bawah sebelum ke atas. Karna, apa yang lo punya belum tentu orang lain dapatkan."

"Nadiar!"

Nadiar terlonjak pelan, lalu menoleh ke samping dan sedikit mengangkat topi fedora bulat panjangnya karena menghalangi pemandangan di samping.

Alvis berdiri di samping Nadiar dengan terheran menatap ke arah Nadiar. "Kamu baik-baik aja?"

"Nggak!" seru Nadiar kesal sambil menghentakan kakinya berjalan ke depan, entah kemana, yang pasti, jauh dari Alvis.

Nadiar benar-benar kesal pada Alvis. Karena sumpah demi apapun, Alvis ternyata lebih protektif kepadanya! Siapa yang tidak kesal, coba? Alvis memerintah dengan seenak jidatnya sendiri. Dengan keras kepalanya, Alvis menyuruh Nadiar menggunakam topi berlebar naudzubillah itu untuk menaiki wahana Histeria. Saat Nadiar menolak, Alvis malah berkata, "Pake, atau nggak naik wahana ini sama sekali."

Alhasil, Alvis mengikat topi itu kuat-kuat di bawah dagunya dan membuat topi itu sangat melekat di kepala Nadiar. Dan bukan hanya itu, karena topi ini terlalu lebar, 2 orang di samping Nadiar menatap Nadiar sinis sebelum Histeria itu meluncur. Dan akhirnya, sepanjang permainan wahana Nadiar hanya cemberut di kursinya.

"Kamu mau kemana?" suara Alvis tiba-tiba muncul di sampingnya dan sebuah tangan menahan siku Nadiar. Alvis menarik pelan tangan Nadiar, membuat Nadiar terpaksa berbalik menghadap Alvis. "Kamu marah?"

Nadiar cemberut, lalu menganggukan kepalanya. "Enggak."

Alvis mendengus geli. "Kebiasaan. Kelakuan sama jawaban kamu suka beda. Apa arti anggukan itu kalo kamu jawab enggak?"

"Enggak salah lagi! Aku sebel sama kamu!"

"Serius?"

"Enggak."

Alvis tertawa, lalu mencubit pelan hidung Nadiar. "Kamu kenapa lucu banget?"

"Karna aku mirip Sule?"

"Bukan."

"Emang, kamu tau siapa Sule?"

"Tau, lah. Aku lebih tua dari kamu. Masa aku gak tau pelawak senior itu?"

"Trus aku mirip siapa?"

"Kamu gak mirip siapa-siapa."

"Kamu bilang aku lucu!"

Handsome CEO [Repost]Where stories live. Discover now