nineteen; talking to the moon

22.7K 1.4K 0
                                    

Akan ada saatnya manusia selalu mengintropeksi dan mulai memperbaiki apa yang salah. Nadiar itu manusia biasa, yang tidak luput dari dosa dan banyak kekurangan. Maka dari itu, setelah hari di mana ia membuat Alvis marah, Nadiar mulai mencari-cari kesalahannya dan apa saja yang membuatnya ceroboh.

Ternyata, sepatu pentofel ber-hak tinggilah yang membuatnya agak limbung ketika menyajikan kopi pada Alvis saat tragedi itu. Karena hal itu, dengan flat shoes yang melekat di kakinya, bibir Nadiar tidak berhenti menggunjingkan senyum. Beberapa karyawan yang tersadar akan tinggi Nadiar yang berkurang itu menoleh, lalu menatap ke bawah, di mana sepatu flat shoes itu bertengger manis di kakinya.

Nadiar merasa dirinya baik-baik saja. Maka, saat beberapa orang menatapnya takjub, Nadiar hanya tersenyum manis dan mengibaskan rambut dengan gaya anggun. Sampai di ruangannya, Nadiar yang baru saja akan duduk di kursinya, mengurungkan niat saat Alvis keluar dari ruangan CEO. Nadiar tersenyum lebar pada Alvis yang mengerutkan alisnya. "Pagi, Bos ..."

Alvis mengangguk, lalu tatapannya turun pada flat shoes Nadiar. Mata Alvis sempat melotot, sebelum kemudian mengerjap, dan kembali menatap Nadiar dengan takjub. "Kamu ke kantor pake flat shoes?"

Nadiar nyengir lebar, lalu menganggukan kepalanya. "Yup!" jawabnya cepat, dan di balas dengan diamnya Alvis yang tetap saja menatap Nadiar. "Kenapa, Bos?"

Alvis tetap diam dengan mata yang menghunus intens pasa Nadiar, membuat Nadiar merasakan lonjakan jantungnya yang cepat.

Nadiar menggigit bibir bawahnya kuat, lalu tersenyum kaku. "Bos?" tanyanya, namun tetap tak ada balasan. "Bos! Bos! Bos! Bos! BOS ALVIS!"

Tubuh Alvis tersentak sejenak, kemudian menatap Nadiar dengan raut tanpa ekspresinya. "Hm? Kenapa?"

Nadiar mendesis, dan sempat ingin menangis karena kesal. "Bos kenapa diem aja? Saya gak boleh, ya, pake sepatu flat shoes di kantor?"

Alvis kembali mengerjap, lalu berdeham. "Selama itu tidak menganggu pekerjaan kamu, ya sudah. Kamu diizinkan."

Nadiar tersenyum lebar, lalu menggaruk belakang telinganya dengan gerakan malu-malu. "Hmm, Bos hari ini ada olahraga, ya? Pagi ini banget, kan? Olahraga dimana?"

Alvis mengangguk pelan. "Hm," jawabnya, membuat Nadiar terdiam dengan wajah datar. Alvis berdeham. "Saya ke dalam," pamitnya, lalu berbalik dan masuk kembali ke dalam ruangannya.

Nadiar cemberut. Ia menghentakan kakinya ke lantai, lalu membanting tubuhnya di kursi. Nadiar kembali menghentakan kakinya yang berada di bawah meja dengan raut wajahnya yang semakin kesal. Pintu ruangan Alvis kembali di buka. Alvis terlihat berdiri di bingkai pintu dengan sebuah papper bag mini di tangannya. Alvis kemudian berjalan menghampiri Nadiar, dan menyimpan papper bag itu di atas meja Nadiar. "Itu untuk kamu."

Nadiar menautkan alisnya dengan heran. Tangannya lalu terulur untuk mengambil papper bag tersebut, dan membukanya. Mata Nadiar sukses melebar melihat sebuah dus kecil di dalamnya. Nadiar mengambil dus tersebut, dan melihat gambar ponsel keluaran terbaru di dus tersebut. "Ini ..."

Alvis mengangguk. "Handphone itu untuk kamu. Anggap saja sebagai fasilitas kantor."

Nadiar tersenyum lebar. Tanpa sadar, ia sudah berdiri dan melompat ke pelukan Alvis. "Makasih, Bos! Makasih banget!! Bos tau aja kalo saya lagi galau banget nggak ada hape. Bos pengertian banget, deh ..., jadi sayang." serunya, dengan kedua tangan yang melingkari leher Alvis erat.

Sejenak, Nadiar lupa jika Alvis adalah Bosnya. Sampai Nadiar merasakan tubuh Alvis yang menegang dan hening menyelimuti keduanya, Nadiar buru-buru mundur dan melepaskan pelukannya. Jantung Nadiar berdentum keras saat matanya dan mata Alvis bertubrukan. Nadiar menelan ludahnya dengan susah payah, lalu menundukan kepalanya dalam-dalam. "Ma-maaf, Bos."

Nadiar merasa sekitar hidung, pipi, dan telinganya memanas. Entah karena apa, namun, efek dari jantung Nadiar yang memompa lebih cepat dari biasanya mungkin adalah penyebab utama. Dan lagi, Alvis malah diam di tempat, entah sedang melakukan apa. Yang pasti, kediaman Alvis membuat Nadiar makin gugup. Keduanya diam, dan ini sudah lebih dari 10 detik yang panjang untuk keduanya.

Alvis diam, Nadiar diam. Entah sampai kapan, yang pasti, tidak ada kata lagi yang dapat keduanya keluarkan.

Hingga, dering ponsel Alvis membuat perhatian keduanya teralih. Alvis segera mengangkat panggilan telfonnya, lalu menyimpam layar ponselnya di telinga. "Ya?"

Entah apa yang dibicarakan Alvis pada orang yang menelfonnya, yang pasti, jawaban Alvis hanya "Hm," dan "Baiklah," saja. Terus sampai panggilan telfon Alvis berakhir. Alvis kemudian kembali menatap Nadiar, lalu berdeham. "Sebaiknya, kita siap-siap. Saya harus berolah raga."

Nadiar mengangguk cepat, terlalu cepat hingga kepalanya terasa pening. "I-iya, Bos."

Alvis hanya diam, lalu memutar tubuh dan berlalu di hadapan Nadiar.

Nadia menghela napas panjang-panjang, lalu membuangnya perlahan. Tangan Nadiar kemudian terangkat dan memegang sesuatu yang terasa berdentum cepat di balik tulang rusuknya. Nadiar menggigit bibirnya kuat-kuat. "Gue kenapa?" tanyanya, lebih kepada diri sendiri. Nadiar menghela napas panjang. "Kayaknya, gue harus lapor Bang Alden tentang ini. Bisa jadi, ini penyakit jantung."

Nadiar mengangguk, menyetujui pikirannya sendiri. Ia lalu membawa tasnya saat melihat Alvis sudah keluar dari ruangannya.

Handsome CEO [Repost]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora