fifty two; dark horse

16.8K 1K 5
                                    

Hening.

Hanya gemericik air dari keran yang bersuara saat Adrian dengan gesitnya merobek bawah kemejanya sendiri, dan setelah itu membasahi robekan kain itu untuk membersihkan luka Nadiar. Dengan hati-hati, Adrian mengelap darah di telapak tangan Nadiar tanpa sedikitpun mengelap pusat darah di telapak tangan Nadiar. Yaitu, 3 lubang di tangan kiri dan 1 sayatan di tangan kananya.

Bukan rasa malu yang membuat Nadiar diam karena satu kamar mandi dengan seorang laki-laki. Namun, karena rasa bersalah yang Nadiar rasakan saat Adrian ternyata mengetahui penyebab tangan Nadiar menggenggam erat-erat sendok dan garpu tersebut.

"Aku tau apa yang kamu pikirin," ucap Adrian, tanpa mau menatap Nadiar yang sedari tadi tidak melepaskan pandangan darinya. "Dia siapa?"

Nadiar menelan ludahnya dengan susah payah. "Bukan siapa-siapa," jawabnya jujur. Karena memang, Alvis sekarang bukan siapa-siapanya. Namun, sepertinya jawaban Nadiar tidak memuaskan bagi Adrian. Karena Adrian langsung terdiam dan menghela napas panjang. Nadiar buru-buru menambahkan, "Cuma Bos di perusahaan aku."

Kepala Adrian mengangguk. Tangannya yang di genggam Adrian, di simpan di pangkuan Nadiar. Membuat genggaman Adrian terlepas saat punggung tangan Nadiar berada di pangkuannya.

Oh tidak! Nadiar tahu apa maksud Adrian. Tanpa mempedulikan tangannya yang terluka, Nadiar buru-buru memegang ujung kemeja Adrian. Adrian sudah berdiri di hadapannya. "Kamu mau kemana?!" tanyanya panik.

Terdengar helaan napas dari Adrian. Lelaki itu berlutut, menyamakan tingginya dengan Nadiar yang sedang terduduk di kloset. Tatapan Adrian teduh dan lembut saat menatap manik mata Nadiar. "Kamu gak jujur."

"Aku jujur!" seru Nadiar makin panik.

Adrian malah tersenyum kalem dan mengusap rambut Nadiar dengan lembut. "Kamu cinta aku?"

Nadiar mengangguk mantap. "Aku cinta kamu! Demi Tuhan, Adrian! Jangan lakuin apapun yang saat ini ada di dalam kepala kamu!"

Adrian menurunkan tangannya yang mengusap rambut Nadiar. Tangannya lalu memegang pergelangan tangan Nadiar dengan lembut, dan menariknya agar tangan Nadiar mengadah ke hadapan Adrian. Sapuan angin terasa di luka Nadiar saat Adrian meniupi telapak tangannya. Adrian kemudian tersenyum. "Kenapa kamu mudah banget buat bilang cinta, Nad?"

"Hah? Emang kenapa?" tanya Nadiar panik.

Adrian tersenyum kalem. "Lupain omongan aku yang tadi," ucapnya, lalu menatap dalam pada manik mata Nadiar. "Kamu cinta dia?"

Nadiar diam. Ia menelan ludahnya susah payah tanpa bisa menjawab pertanyaan Adrian.

Senyum kalem Adrian melebar, namun matanya tidak ikut tersenyum. Mata Adrian sendu, dan penuh kekecewaan di dalamnya. "Gak usah jawab. Aku udah nemu jawabannya."

Nadiar merasakan jika matanya kini memanas. Nadiar membenci tatapan kekecewaan dari Adrian. Nadiar membenci senyuman kalem Adrian. Saat ini, Nadiar membenci segalanya dan bahkan dirinya sendiri. "Adrian ..."

Adrian membalas panggilan Nadiar dengan sebuah kecupan di dahi.

Nadiar menutup matanya. Dan saat itu pula, air mata Nadiar terjun melewati pipinya. Nadiar membuang napasnya, merasakan sebuah kengiluan saat Adrian beralih memeluk tubuh lemas Nadiar. Air mata Nadiar makin deras mengalir. Nadiar membalas pelukan Adrian erat-erat, lalu terisak kencang di sana. "Jangan, Adrian. Jangan ..."

Handsome CEO [Repost]Where stories live. Discover now