fourty; if this was a movie

17.9K 1.1K 6
                                    

Nadiar menuruni tangga rumahnya sambil menguap lebar-lebar. Ia mendengus, lalu menggaruk kepalanya. Rambut Nadiar masih acak-acakan karena Nadiar memang baru bangun tidur. Nadiar kemudian mengambil gelas dan menuangkan air dari dalam dispenser. Nadiar melangkahkan kakinya ke arah ruang tv, dan mendapati ketiga anggota keluarganya sedang menatap televisi dengan pandangan ngeri dan tidak suka.

"Ihh, ada, ya, orang yang kayak gitu?" ucap sang Bunda sambil memandangi televisi dengan bergidik ngeri.

"Ada apa?" tanya Nadiar sambil menatap ke layar televisi.

Alden menoleh sekilas pada Nadiar, lalu kembali menatap televisi. "Itu. Katanya, yang nge-bom rumah sakit ditemukan. Dan yang nge-bom itu ketahuan lagi ngerampok bank sambil nyandera orang. Trus, dia di tembak mati di sana demi keselamatan saderanya."

"Dih, kayak yang gak ngerti dosa aja tuh orang," komentar Nadiar sambil menatap televisi dan meminum minumannya dari gelas. Sebuah foto yang ditunjukan di layar televisi membuat Nadiar menyemburkan minumannya, lalu tersedak.

"Diar, jorok, ya, kamu!"

"Iih, kamu ini minum hati-hati, dong."

"Tau lu, Nad! Lebay amat, perasaan."

Nadiar tidak mempedulikan celotehan yang ditujukan padanya. Mata Nadiar menatap lurus-lurus pada televisi dengan mulutnya yang menganga lebar. Ini tidak mungkin. Masalahnya ..., foto itu adalah foto orang yang kemarin baru saja menjambak Nadiar. Nadiar menggeleng linglung, lalu menelan ludahnya susah payah. "Ini ..., beneran, Bang?"

Alden terdengar mendengus jengah. "Beneran. Polisi udah nyelidikin dia dari lama. Dan katanya, dia juga orang yang sering nyulik anak-anak buat muasin nafsu bejatnya."

Napas Nadiar terengah. Ia terduduk di sofa akibat kakinya yang tidak dapat menahan beban tubuh Nadiar. "Masalahnya, Bang. Orang ini ..., kemarin ada di kantor Nadiar dan sempet nyiksa Diar."

Ketiga anggota keluarga disana kompak menoleh kaget pada Nadiar.

***

Nadiar mencoba fokus pada ketikan jarinya di komputer, dan mencoba menetapkan tatapannya lurus-lurus kesana. Ada yang menganggu pikiran Nadiar saat ini.

Selain karena berita yang sedang viral di mana-mana saat ini, Nadiar tidak melihat Alvis di kantor. Alvis benar-benar menghilang, dan tanpa ada kabar sama sekali. Seharusnya, Alvis, kan, mengatakan pada Nadiar. Selain karena Nadiar sekertaris, Nadiar juga pacar Alvis. Lalu ini? Setiap Nadiar menelfon ke beberapa klien, ternyata Alvis telah membatalkan pertemuan dan mengundurnya tanpa alasan. Huh, andai saja Nadiar memiliki nomor telfon Alvis.

Hmm, apa Nadiar meminta pada kawan Alvis saja? Temannya Alvis kan hanya Devan. Selebihnya, Nadiar tidak tahu. Nadiar menghela napas panjang, lalu mulai mengotak atik layar ponselnya. Ia membuka aplikasi kontak telfon, kemudian menghubungi nomor Dizi dan menyimpan layar ponselnya di telinga. "Halo, Zi?" sapa Nadiar saat panggilannya sudah diangkat oleh Dizi.

"Hai, bep. Napa? Kangen lo? Tumben banget nelfon."

Nadiar menghela napas panjang. "Denger kata kangen, gue jadi keinget bokap."

"Lah? Bukannya keingat pacar, lo malah keingat bokap. Emang, bokap lo napa sampe lo kangenin?"

"Bukan karna gue kangen. Tapi kemarin, masa dia beli pulsa aja bilang-bilang? Kebanyakan, katanya."

Dizi tertawa di sebrang sana. "Aduh, bokap lo dari dulu kocak banget, ya? Duh, duh, gue masih inget dia nggak ngebolehin lo beli hape yang lo mau karna gak ada iklannya di TV."

Nadiar mendengus, lalu berdecak sebal. "Tau, deh. Bokap gue malah ngomongin kangen trus nyanyi lagu galau gak nyembuhin rasa kangennya."

Tawa Dizi makin membahana disebrang sana. "Kocak, jir! Jadi kangen bapak Sultan."

Handsome CEO [Repost]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang