twenty four; thingking out loud

22.2K 1.4K 19
                                    

Pekikan cempreng di luar ruangan, membuat lamunan Alvis tentang Nadiar terhenti. Mata Alvis melihat di balik kaca ketika mengetahui bahwa itu adalah teriakan riang dari Nadiar yang sedang memeluk perempuan, lalu cipika cipiki. Setelah itu, Nadiar melihat ke arah samping perempuan itu, lalu tersenyum lebar dengan mata melotot. Nadiar kembali memekik, lalu memeluk perempuan itu lagi. Kali ini, terlihat lebih erat dan lebih lama.

Alvis menelan ludahnya saat jantungnya berdetak kencang sesaat, lalu kembali normal. Hal itu di karenakan Alvis yang mengingat pelukan Nadiar pada tempo hari. Pintu ruangan Alvis lalu di ketuk, membuat Alvis dan detektif swasta itu mengalihkan pandangannya ke pintu. Tanpa Alvis perintah, pintu itu terbuka, dan menampilkan wajah sahabat Alvis dari celahnya.

Devan tersenyum lebar. "Yo, Vis!"

"Devan?" Alvis membalas sapaan Devan sambil melotot, membuat nama yang di panggil itu tertawa lalu masuk ke dalam kantor Alvis dengan santai. Alvis berdiri saat Devan menghampiri mejanya. Mereka berdua lalu berpelukan, kemudian bersalaman dan saling menabrakan bahu. "Tumben lo cepet? Biasanya, gue harus telfon dan lo ngeluh mulu."

Devan nyengir lebar, sedangkan Alvis kembali duduk di kursinya. "Cewek gue pengen ketemu sekertaris lo," jawabnya, lalu merubah ekspresi menjadi sedih. "Padahal, gue baru nyampe apart dan masih peluk-peluk dia. Eh, dia malah bilang Dave! Akhirnya kamu dateng juga. Ayo kita ke kantor perusahaan temen kamu! Aku bener-bener kangen ama Nadiar! gitu," lanjut Devan sambil cemberut. "Gue kira, gue yang dia kangenin. Lain kali, gue harus lama-lama di luar negeri. Susah amat bikin dia kangen ama gue. Dan lagi, kalo bukan karna lo, gue gak akan-"

"Shut the fuck up, Dave! Omongan lo sama sekali gak mutu," Alvi memotong cepat sambil memutar kedua bola matanya dengan sebal. Dave ini datang tanpa menanyakan kabar, malah nyerocos tidak jelas di saat Alvis sedang dicekcoki pemikiran tentang Nadiar. Benar-benar membuat mood Alvis berantakan.

Devan nyengir lebar. "Hehe."

Alvis menghela napas panjang. "Panggilin cewek lo kesini, deh. Sekarang."

Devan melototi Alvis. "Gak mau! Gue gak rido kalo dia ngeliat lo, Vis! Dia itu pencinta cogan! Lo terlalu bahaya! Lo terlalu ganteng! Gue takut dia nikung kita!"

"Gila! Apa maksud kalimat terakhir lo?!" seru Alvis sambil ikutan melotot.

Devan lalu mengerjap, terlihat berpikir. "Oh iya, si Alvis kan lagi gak bisa move on. Jadi, kalopun cewek gue mau, Alvis belum tentu mau," gumamnya pelan, namun masih terdengar oleh Avis. Devan lalu mengangguk, seolah membenarkan ucapannya. "Heeh, bener, bener."

Alvis menghela napas panjang, lalu menggeleng akibat terlalu pening dengan kelakuan absurd sahabatnya. Alvis sampai harus memijat pangkal hidungnya karena terlalu stress melihat kelakuan sahabatnya. Alvis membuang napasnya pelan, lalu menatap pada Detektif swasta tersebut. "Kamu boleh pergi sekarang. Saya akan menghubungi kamu lagi jika saya membutuhkan."

Detektif itu mengangguk, lalu berbalik pergi.

Alvis kembali menatap Devan saat detektif itu mulai melangkah ke arah pintu. "Dave, bawa cewek lo ke dalem."

"Oke," jawab Devan sambil menunjukan huruf O yang di bentuk oleh ibu jari dan jempol tangannya. Devan berbalik pergi, mengikuti detektif swasta itu dari belakang, lalu mengintip dari celah pintu ruangan Alvis. "Say, bep, honey, bunny, sweety, cintaku, sayangku, sini dulu! Ada yang mau kenalan."

"Bangsat! Berisik, lu! Malu-maluin tau, nggak?" balas suara di luar sana, yang Alvis yakin adalah sahabat Nadiar.

"Galak banget, sih! Sini dong! Ada yang mau ketemu, nih!"

"Siapa?"

"Yang nanya, hehe."

"Anjing ya kamu!"

"Kasar deh kamu. Udah, ah, sini dulu deh! Ada yang mau ketemu, say!"

Handsome CEO [Repost]Where stories live. Discover now