fourty seven; over and over again

16.2K 1K 18
                                    

Saat Alvis selesai memainkan lagu, yang Alvis lakukan adalah menyimpan gitar, lalu tidak mempedulikan pujian-pujian yang di berikan padanya, dan hanya berjalan ke arah Nadiar, kemudian memeluk tubuh itu erat-erat. Mata Alvis terpejam, sedangkan napasnya terus saja memburu sedari tadi.

"Hey, ada apa?" tanya Nadiar sambil mengusap pelan punggung Alvis.

Alvis menggeleng, lalu menguraikan pelukannya. Sambil tersenyum lemah, Alvis menggenggam erat tangan Nadiar. "Ayo pulang."

Nadiar mengangguk, dan mereka pergi dengan kerumunan yang terus memberi tepuk tangan dan teriakan kagum. Alvis hanya diam, dan Nadiar pun seolah mengerti dan hanya diam saat Alvis menyeretnya.

Mereka keluar dari Dufan dan langsung menaiki mobil yang terparkir. Saat sudah duduk di kursi pengemudi, Alvis menyandarkan punggungnya, lalu menghela napas panjang. Ya, ini mungkin yang terbaik untuk mereka. Hanya putus, bukan berpisah yang benar-benar berpisah. Alvis masih bisa melihat Nadiar, begitupun sebaliknya. Lalu, mengapa Alvis masih resah? Mengapa?

Alvis menghela napas panjangnya, lalu menutup matanya perlahan. Selalu Inandra. Dan tetaplah Inandra penghalangnya. Alvis masih resah karena Inandra benar-benar mengancam batin Alvis. Berurusan dengan Inandra benar-benar merepotkan. Berurusan dengan Nadiar apalagi.

"Hey, kamu kenapa?" Nadiar kembali membuka suara, membuat Alvis membuka matanya dan mendapati Nadiar menatapnya khawatir. "Kamu aneh. Kamu kenapa?"

Alvis menghela napas panjang. "Aku anter kamu pulang."

Nadiar terlihat ingin membuka mulut kembali, namun mengurungkan niatnya dan hanya menganggukan kepala. Mungkin, Nadiar tahu jika Alvis sedang tidak baik-baik saja.

Perjalanan mereka kali ini hanya hening. Selama 15 menit, Nadiar menutup mulutnya. Dan Alvis tahu, Nadiar pun sedang tidak baik-baik saja. Nadiar yang Alvis tahu, tidak dapat diam selama 10 detik. Yang artinya, saat ini, Nadiar diam karena Alvis yang tidak baik-baik saja. Jadi intinya, Nadiar tidak baik-baik saja karena Alvis yang tidak baik-baik saja.

"Suara kamu bagus."

Nadiar mulai membuka suara, dan Alvis mencoba mengabaikannya dan tidak merespon.

"Aku gak tau kamu jago main gitar."

Alvis tahu jika saat ini Nadiar sedang mencoba membuka sesuatu yang sedang Alvis sembunyikan. Namun dengan cara halus yang terlihat tidak memaksa, yaitu, memancing Alvis untuk tidak bicara lebih dulu. Namun tidak. Kali ini, takkan Alvis biarkan dirinya kembali menurut pada Nadiar. Alvis membuat pertahanan yang lebih tinggi.

"Ada yang kamu sembunyiin, aku yakin."

Alvis menelan ludah, lalu memutar stir mobilnya untuk berbelok dan memasuki perumahan dimana Nadiar tinggal. Mobil Alvis berhenti tepat di depan rumah Nadiar.

"Kamu marah?" tanya Nadiar lagi. Kini membuka sabuk pengamannya, dan memutar duduknya menghadap Alvis. "Kenapa kamu nggak ngomong-ngomong dari tadi?"

"Nadiar," Alvis memanggil lirih sambil menghela napas panjang dan menoleh pada Nadiar. "Gimana kalo kita putus?"

Nadiar terlihat menegang dan menahan napasnya. "Apa maksud kamu?"

"Ayo kita putus."

Nadiar bergerak tidak nyaman di tempatnya, lalu mengerjapkan matanya pelan dan membasahi bibirnya dengan lidah. "Kamu bercanda?" tanyanya, lalu terkekeh pelan. "Tadi pagi di apartemen, kamu baru aja bilang ...," jeda, Nadiar tertawa sumbang dengan matanya yang menatap tidak percaya pada Alvis. "Kamu mainin aku?"

"Kenapa? Kamu mau mohon-mohon sama saya seperti orang yang udah mati itu?" Alvis mulai membuka suaranya. Dingin, dan tidak ada kata manusiawi dalam kalimatnya. Jantung Alvis terasa sesak saat ia bernapas. Namun, Alvis memaksakan dirinya untuk tetap bernapas saat menghadapi Nadiar. Alvis tidak ingin memperlihatkan kelemahannya, dan membuat Nadiar semakin sadar jika ada hal yang Alvis sembunyikan dari Nadiar.

Handsome CEO [Repost]Where stories live. Discover now