twenty five; skyscraper

21.4K 1.3K 4
                                    

Nadiar sedang tiduran di sofa sambil memainkan ponselnya saat tiba-tiba layar ponselnya berubah dengan tampilan panggilan dari nomor yang tidak di kenalnya. Nadiar buru-buru mengangkat panggilan tersebut. "Halo? Dengan Nadiar disini. Ini siapa ya?"

"Hai sayang!"

Nadiar terduduk di sofa dengan ekspresi kaget. "Dito!"

Terdengar kekehan di sebrang sana. "Kamu kemana aja, sih? Aku hubungin kamu udah lama, tau. Untung aja Dizi ngasih tau aku nomor kamu yang baru. Dia udah ceritain semuanya."

Nadiar cemberut, walaupun sebenarnya tidak berguna juga karena Dito takkan melihatnya. "Aku kangen kamu juga, tau ..., ah, untung tadi aku ketemu Dizi di kantor dan ngasih tau nomor baru aku. Maaf ya, aku lagi gak buka-buka sosmed sekarang."

Dito terkekeh lagi. "Gak papa, kok. Tapi, aku bener-bener pengen liat muka kamu. Kita kan LDR."

"Oh iya! Disana malam, siang, sore, atau pagi?"

Dito kembali terkekeh. "Kita di negara yang sama, sayang. Cuma beda kota. Aku di Semarang, kamu di Jakarta."

"Emang iya?" tanya Nadiar polos, membuat Dito kembali terkekeh. "Yaudah, deh. Ayo kita vidcall."

"Oke."

Sambungan pun terputus, lalu layar ponsel Nadiar kembali menyala, menampakan wajah tersenyum Dito, namun matanya terlihat sendu. "Hai!" sapa Nadiar sambil nyengir lebar.

Dito tersenyum, namun tidak sampai mata. "Seneng banget bisa liat kamu. Kangen aku berkurang."

Nadiar tersenyum lembut. "Ada apa? Muka kamu kayak kecapekan gitu."

Dito menghela napas, lalu kembali tersenyum. "Aku pengen ngerasain mati, Nad."

"Dito ...," bisik Nadiar lirih. Nadiar merasakan jantungnya berhenti berdetak sejenak. "Jangan ngomong gitu."

"Mama sama Papa aku resmi cerai, Nad," Dito mengatakan hal tersebut dengan wajahnya yang tanpa senyum. "Disaat aku gak bisa lepas dari narkoba ..., mereka mau cerai."

"Dito ...," Nadiar kembali memanggil lirih. Matanya sudah berkaca-kaca. Nadiar memang tipe orang yang mudah menangis, alias cengeng. Kalian bisa mengulang baca dari part saat Nadiar terjatuh di hari pertamanya kerja, jika tidak percaya. Hati Nadiar terlalu lembut, makanya dia tidak tahan saat orang lain menceritakan hal-hal sedih.

Dito kembali tersenyum sendu, namun kini senyumnya berubah menjadi wajah marah. "Ini karna wanita itu, Nad! Karna janda beranak satu yang dulunya tetangga aku itu! Aku benci mereka, Nad! Benci! Aku ingin balas dendam!"

"Gak boleh! Itu gak baik!" Nadiar membalas sambil menggeleng keras. "Kamu jangan dendam dan urusin hidup orang, To. Aku mau kamu bahagia, nggak dendam-dendam sama orang lain."

"Tapi Nad-"

"Dito ...," Nadiar memotong dengan lirih. "Kamu bakal sangat menyedihkan kalo berbuat dendam, To. Kamu kelihatan banget gak bahagia."

"Nad ..."

Air mata Nadiar kini tidak bisa di tahan lagi, dan akhirnya turun membasahi pipinya. Nadiar segera mengusap pipinya dengan kasar. "Dito, kamu berhak bahagia. Bukan bahagia karna obat-obatan itu, tapi karna emang hati kamu ikutan tersenyum. Ya, istilahnya gitu, sih, walaupun aku tau banget hati gunanya buat menetralisir racun."

Dito tersenyum kecil, membuat Nadiar tersedak tawanya disela tangis. Dito lalu menunduk, kemudian mengangguk pelan. "Kamu baik banget, Nad. Aku kayaknya gak pantes buat kamu."

Nadiar mendengus, lalu berdecih. "Kalo kamu gak pantes buat aku, trus yang pantes buat aku siapa?"

Dito mengangkat wajahnya, lalu mengedikan bahunya sekilas. "Yang bukan pemakai, misalnya?" tanyanya, lalu tersenyum kecil. "Atau Harry Styles misalnya? Kamu kan suka banget sama dia."

Handsome CEO [Repost]Where stories live. Discover now