Chapter 3: Kecopetan

3.4K 571 56
                                    

Playlist number 3 :Converse High - BTS

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Playlist number 3 :
Converse High - BTS

°°°°°°

Saat kegiatan belajar mengajar berlangsung, sudah beberapa kali Altana menguap. Ia mengusap wajahnya dengan kasar saat melihat gurunya sedang menerangkan bilangan matriks.

Altana benci matematika.

Walaupun menurut teman-temannya, materi matriks itu gampang, yang mana hanya memindahkan angka dari sebelah kanan ke kiri maupun sebaliknya. Namun, tetap saja menurutnya susah dan membutuhkan ketelitian yang cukup tinggi. Ia benci dengan namanya angka. Bahkan, Altana pun sempat bertanya-tanya, mengapa harus ada pelajaran matematika di dunia ini?

Kebetulan, dari tiga puluh lima siswa di kelasnya, hanya Altana-lah yang duduk sendiri. Lebih parahnya lagi, tempat duduk Altana tepat di hadapan meja guru. Penyebabnya karena di hari pertama Altana masuk sekolah, yang mana merupakan tahun ajaran baru. Ia terlambat karena sibuk mencari kelas barunya, dan saat masuk ke dalam kelas hanya meja di hadapan guru-lah yang masih kosong. Sisanya? Ditempati oleh teman-temannya.

Menyebalkan sekali bukan?

Saat Altana menguap untuk yang ke-delapan kalinya, seseorang menduduki bangku kosong di sebelahnya. Altana menengok dan melihat Alvan sedang menulis materi yang ada di papan tulis. Perempuan itu hendak mengatakan sesuatu tapi dipotong terlebih dahulu oleh Alvan. "Numpang, tulisan di depan nggak keliatan. Kepalanya Netta menghalangi pemandangan gue buat nyalin materi," cerocos Alvan enteng dan kembali sibuk menulis.

Altana terkekeh sembari melihat Netta.

"Jangan senyum-senyum, Alta." Alvan berucap tanpa suara.

"Kenapa?" tanya Altana lagi sambil tersenyum, kali ini ia mengambil pulpen dan mulai menulis materi yang diajarkan gurunya.

Alvan menggeleng. "Pokoknya jangan senyum."

Altana tampak berpikir untuk sejenak. "Tapi kan senyum itu ibadah."

"Emang senyum itu ibadah tapi kalo senyumnya bisa bikin hati orang ambyar apa lo mau tanggung jawab?" tanya Alvan cepat dengan bergumam.

Berhenti menulis, Altana menengokkan kepalanya ke arah lelaki itu. "Maksud lo apa?"

Alvan tersenyum tipis sembari menatap hasil catatannya. "Pokoknya jangan."

Diam-diam, Altana memberengut. Mengapa Alvan melarangnya untuk tersenyum? Semua orang memiliki hak untuk tersenyum karena hal itu telah tertera dalam undang-undang hak asasi manusia. Lagipula, mengapa Altana merasa bahwa Alvan sedang mendekatinya? Altana tahu, bahwa ia terlalu kegeeran, tapi semenjak Alvan menolongnya kemarin, entah mengapa ia merasa bahwa sikap lelaki itu mulai berubah.

Dulu, Alvan jarang mengobrol dengannya. Sekalinya mengobrol paling hanya membahas PR atau soal ulangan. Hanya itu. Maklum, Altana termasuk anak penyendiri di kelasnya, yang mana ia selalu sibuk dengan dirinya sendiri. Walaupun Altana senang menyendiri, perempuan itu tak lupa untuk bersosialisasi agar ia tidak terlalu katrok. Lagipula dengan bersosialisasi-lah ia mendapatkan ilham untuk membuat sebuah cerita yang menarik.

ILLEGIRLWhere stories live. Discover now