Chapter 8: Gombalan Maut

2.5K 438 45
                                    

Mata Altana terfokus pada jendela kamar Zach yang berada tepat di hadapan jendela kamarnya. Ditemani guyuran hujan beserta lagu galau, Altana memangku wajahnya dengan tangan. Perempuan itu tidak tahu harus melakukan apa.

Ingin menonton drama Korea, tapi malas. Melanjutkan naskah ceritanya pun sedang tidak mood. Zach-lah penyebabnya. Altana merasa bahwa semenjak ia mengaku berpacaran dengan Alvan, lelaki yang telah menjadi sahabatnya sejak SMP tampak menjauhinya. Jika Altana mempunyai seorang pacar, bukankah Zach harusnya senang? Ya, walaupun Altana akui bahwa hubungannya dengan Alvan adalah palsu.

Saat termenung, kejadian tadi siang di kantin sekolah terlintas di benaknya.

"Sampai kapan?" tanya Jaka serius.

Alvan dan Altana menatap satu sama lain. "Pastinya bukan sekarang," jawab Alvan dengan suara pelan dan menyeruput jus jeruknya, "kalau orang-orang tau, Altana sama gue pacaran boongan. Reputasi gue sebagai cowok famous bisa hancur."

"Halah, banyak gaya amat lo!" Altana berucap asal dan berancang-ancang untuk memukul lelaki itu. Namun, tangan Alvan malah menggapai tangan Altana dan menggengamnya.

"Nggak boleh gitu, Sayang."

Ah, sialan.

Altana akui bahwa ia adalah perempuan yang suka terbawa perasaan saat ada lelaki yang menggodanya. Makanya ia terkadang sebal sendiri dengan sifatnya yang satu itu. Oke, lupakan soal Alvan sejenak karena ia ingin sekali mengobrol dengan Zach. Mengambil ponsel, Altana mengetikkan sesuatu pada layarnya.

Altana : Zach, gue tahu lo udah pulang. Bisa lihat jendela kamar lo sebentar?

Hanya dibaca.

Zach tidak biasanya seperti ini saat chatting dengan Altana.

Altana hanya ingin menangis. Gebetan sekaligus lelaki yang menjadi sahabatnya menjauh begitu saja.

Getaran ponsel membuat Altana cepat-cepat membuka notifikasi. Sialnya notifikasi itu berisi pesan dari operator yang mengatakan sisa kuotanya tinggal lima ratus megabyte lagi.

Sialan tingkat kubik.

Altana berdiri dari kursinya setelah terduduk selama dua jam lebih di meja belajar tanpa melakukan apa-apa. Ia menghela napas dan memilih untuk menutup gorden disaat matahari mulai tenggelam. Tapi, mata Altana tiba-tiba terbelalak saat melihat Zach yang muncul di kaca jendelanya.

Lelaki itu menatap ponsel hitamnya dengan serius hingga sebuah getaran dari ponsel Altana membuat perempuan itu menunduk.

Panggilan masuk dari Zach.

Jantungnya kembali berdetak tidak karuan. Tanpa pikir panjang, Altana langsung mengangkatnya.

Mereka tidak bersuara.

Hanya suara gemericik hujan yang mengisi keheningan mereka dari balik telepon.

Tatapan mereka tertuju pada kaca jendela masing-masing.

"Gue minta maaf." Keduanya melontarkan kalimat yang sama.

Altana terisak.

"Jangan nangis, Alta. Gue nggak bermaksud buat menjauh dari lo," tambah Zach melalui teleponnya dan masih menatap Altana dari kaca jendelanya.

Dari luar, Altana memang tampak sebagai sosok yang kuat, tegar, dan juga penyabar. Tapi, di dalam, Altana tidak seperti itu. Altana cengeng, egois, dan juga mudah marah.

"Kalo lo ada masalah, lebih baik bilang. Kita selesaikan masalah ini dengan baik-baik," ujar Altana, mengusap air matanya yang terus mengalir hingga membentuk sungai-sungai kecil di pipinya.

ILLEGIRLWhere stories live. Discover now