Chapter 29: Dunia ini Terkadang Terlalu Lucu

316 56 34
                                    

Alvan mencoba untuk bersikap seperti biasanya sekembalinya ia dari dapur. Di tangannya terdapat sebuah botol berisi air dingin. Ia menaruhnya di atas meja. Altana yang sedang makan langsung mengambil air minum itu. Namun, direbut kembali oleh Alvan. "Ini buat aku. Kamu lagi sakit, nggak boleh minum air dingin."

"Dasar pelit," ucap Altana mendengus. Perempuan itu beranjak untuk ke dapur. Alvan membiarkannya.

Memori kembali terputar saat Liana menanyakan perihal kabar ayahnya.

"Ayah saya udah meninggal, Tante."

Pegangan Liana pada meja melemah sehingga ia hampir saja terjatuh kalau saja Alvan tidak menahannya. "Tante nggak apa-apa?"

"Sejak kapan?" tanya Liana dengan mata yang berkaca-kaca, tak menghiraukan ucapan Alvan sebelumnya.

"Tiga bulan yang lalu karena serangan jantung."

Liana menutup mulutnya. Mencoba untuk menahan isakan agar tidak terdengar oleh siapapun, termasuk Altana yang sedang makan di ruang tamu. Wanita itu mencoba untuk menenangkan dirinya dengan menghapus air matanya kemudian menghela napas panjang. Menatap Alvan dengan tatapan penuh dukacita. "Tante teman SMA ayah kamu."

"Ah, maaf Tante-"

"Nggak, nggak apa-apa. Boleh Tante tahu tempat pemakaman ayah kamu di mana?"

"Alvan, Alvan!" panggil Altana sedikit menjerit. Membuat cowok itu tersadar dari lamunannya.

"Kamu habis ngobrolin apa aja sama Mama? Dia kelihatannya kayak abis nangis," ujar Altana serius.

"Mama kamu ternyata temen SMA ayah aku. Dia shock banget pas aku kasih tahu kalau ayah udah meninggal."

"Gue nggak yakin," gumam Altana tanpa sadar sembari memijat pelipisnya.

"Kenapa?" tanya Alvan, menengokkan kepalanya ke arah Altana.

Altana tak menghiraukan ucapan kekasihnya dan kembali bertanya. "Mama tanya apalagi?"

Lelaki itu menceritakan kembali apa yang ditanyakan oleh Liana. Altana mendengarkannya dengan saksama sembari menopang dagu pada lututnya. Helaan napas terdengar dari seseorang di sebelahnya saat Alvan telah selesai bercerita. Altana meletakkan kepalanya pada bahu Alvan. Makanan yang tergeletak di meja sudah membuatnya tidak berselera karena cerita Alvan.

"Tangan aku belum dicuci, bisa pegang dahi aku?" ujar Altana pada Alvan.

Tangan Alvan yang bebas memegang dahi Altana untuk mengecek suhu badannya. "Anget."

"Entah kenapa aku jadi nggak enak badan gini. Maaf udah ngerepotin kamu, Alvan."

"Hush, nggak apa-apa. Kalau kamu nggak enak badan, tandanya kamu butuh istirahat lebih. Untuk besok jangan maksain ke sekolah. Libur lagi aja. Nggak usah takut ketinggalan pelajaran, nanti aku usahain nggak tidur saat KBM dan kasih catatannya buat rangkuman kamu."

Altana menahan senyumnya. Ia mengangkat kepalanya dari bahu Alvan lalu mengecup pipinya kilat.

Jantung Alvan berhenti berdetak untuk sesaat.

Perempuan itu menyembunyikan pipinya yang memerah dengan mengambil sisa makanannya lalu berlari ke dapur secepat kilat. Meninggalkan Alvan seorang diri di ruang tamu yang membeku seperti patung.

"Ya Allah, maafkan hambamu yang satu ini," gumam Alvan sembari memegang jantungnya. Kepalanya menggeleng dengan cepat sembari menyadarkan dirinya, "beresin tas lo abis itu pulang. Ya, lo harus melakukan itu, Alvan. Anggap kejadian tadi adalah bonus. Ya gue harus balik agar Alta bisa istirahat."

ILLEGIRLWhere stories live. Discover now