Chapter 17: Semuanya Menyebalkan!

1.9K 322 35
                                    

Jari jemarinya dengan cepat mengetikkan sesuatu pada layar berukuran lima inci itu. Ia terlalu fokus membuat kalimat-kalimat indah untuk ceritanya sampai tidak tahu kalau seseorang telah berdiri di depannya. Di saat itu pula Altana mengeluh sambil mengumpat, melihat Melvin yang memegang bola basket.

"Latihan lo! Main hape mulu dah," keluh lelaki berkulit putih bagaikan vampir itu.

Altana mendengus kesal dan memasukkan ponselnya ke dalam tas olahraga. Tadi saat ia sedang beristirahat sejenak, tiba-tiba dirinya mendapat sebuah ilham untuk menulis cerita. Maka dari itu, Altana mengetik idenya melalui ponsel, hingga pada akhirnya ide itu buyar karena panggilan Melvin.

Ia melihat beberapa teman perempuannya yang sudah berada di lapangan dan melakukan pemanasan untuk sejenak. Altana mengikutinya dan berdiri di sebelah adik kelas yang berkerudung.

Pak Oja selaku sang pelatih memasuki lapangan dengan membawa papan jalan yang berisi nilai-nilai ekskul mereka. Membunyikan peluit, lelaki tua berambut tipis itu menyuruh anak muridnya duduk.

"Jadi, seperti yang kita tahu. Sekolah kita akan mengadakan kompetisi melawan SMA Gajah Mada. Menurut saya, kalian itu masih kurang..."

Altana menjadi tuli seketika saat matanya menangkap sosok lelaki yang memasuki area lapangan dan berdiri di pinggir lapangan sembari memakan chiki, kamera SLR tergantung di lehernya. Alvan tampak sangat polos dan terlihat seperti anak kecil saat sibuk memakan chiki. Terlalu lama, Altana termenung menatap lelaki itu, suara peluit menyadarkannya untuk kembali ke bumi.

"Latihan sampai jam lima! Tanding sama sekolah lain tiga hari lagi! Ayo semangat!" sahut Pak Oja sembari membunyikan peluit.

Kelompok dibagi dua seperti biasa. Altana melakukan kegiatannya seperti mengoper bola, dan memasukkannya ke dalam ring. Tak sengaja matanya memerhatikan Pak Oja yang sedang mengobrol dengan Alvan. Kenapa Alvan membuang-buang waktunya hanya untuk menungguinya sih? Padahal ia bisa pulang sendiri tanpa dijemput oleh lelaki itu.

Sosok Alvan sudah seperti ayah yang sedang menunggui anaknya pulang ekskul.

Selang satu jam dengan sela istirahat lima belas menit, latihan berakhir dengan tim Melvin yang memenangkan pertandingan.

Peluh keringat mengalir di punggung dan juga dahinya. Altana meraih tas olahraga dan menghela napas saat air pada botol minumnya telah habis. Hingga seseorang menempelkan sesuatu yang dingin pada pipinya.

Alvan.

Lelaki itu memberikan air isotonik padanya. Mengucapkan terima kasih, Altana langsung meneguknya sampai tidak bersisa.

"Kenapa nggak pulang?" tanya Altana.

Alvan tersenyum. "Gue nggak akan ngebiarin lo pulang sendirian, apalagi udah mau maghrib."

"Kan gue bisa naik ojol."

"Ojek online belum tentu bisa ngejamin keselamatan lo, Ta. Cepet ganti baju gue tunggu di sini."

Entah mengapa, mendengar pertanyaan Alvan membuat Altana tersipu. Perempuan itu tersenyum kecil dan mengangguk.

Ya Tuhan. Bagi Alvan, senyum yang Altana berikan padanya merupakan suatu anugerah yang sayang untuk dilewatkan dan harus diabadikan. Ia tidak mengerti kenapa Altana memiliki senyuman manis seperti itu. Apalagi jika ditambah pipinya yang memerah dikala Alvan menggodanya, saking gemasnya ia ingin mencubitnya.

Ah, Alvan terlalu berhalusinasi untuk bisa melakukan itu bersama Altana.

Tidak membutuhkan waktu lama, Altana kembali dengan memakai kaos putih dengan celana basket yang masih dikenakannya. Wangi parfum perempuan itu menyeruak, menggelitiki hidung Alvan.

ILLEGIRLNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ