02 || Pelamar

14.6K 316 17
                                    

===

SUARA derum kendaraan masih memadati jalanan Ibu Kota. Belum lagi panasnya matahari yang dengan tidak malunya menyorotkan panas pada kemacetan di sana, gerah, ditambah bunyi klakson yang terus saja meraung membuat Ruby membuka kaca jendela mobil miliknya.

Kepalanya ia keluarkan dan menoleh ke arah kendaraan yang terus-menerus menekan klakson mobil membuat telinga wanita itu ingin pecah. Ruby membuka kaca mata berwarna maroon itu dan menatap tajam si pengendara. "Hei! Bisa berhenti membunyikan klakson atau aku akan melempar bom ke belakang!"

Sedetik kemudian Ruby memasukkan kembali kepalanya dan menyelipkan kacamata yang ia genggam pada kerah baju. Ancamannya tadi memang tidak mengubah apa pun, tapi setidaknya tidak sekacau tadi.

Wanita itu mengembuskan napas kesal. Tangan kirinya terangkat memelihatkan jam tangan mahal berwarna cream dengan hiasan manik berbentuk kristal. Benar-benar macet, Ruby benci hal ini.

Sampai beberapa menit berlalu mobil itu melaju kencang membelah jalanan, lampu hijau menyala membuat banyak kendaraan ikut melaju.

Banting setir kanan. Banting setir kiri. Ruby terus menambahkan kecepatan pada mobilnya sampai berhenti di salah satu restoran ternama, Safir's Restorant.

Langit cakrawala membentang luas. Awan mulai bergerak menutupi sang matahari yang sempat memanaskan bumi. Ruby keluar dengan anggun dari lamborgini merahnya, menatap Restoran megah berdiri tepat di hadapan. Senyum itu mengembang pasti, dengan langkah santai wanita itu mulai memasuki Restoran.

"Let's play," gumamnya, masih tersenyum miring.

===

TOK ... TOK ... TOK ....

Ketukan di pintu tidak membuat pria itu mengalihkan pandangan dari berkas-berkas yang ia pegang. Kursi empuk singgasananya ia hadapkan ke arah jendela kaca besar yang memperlihatkan gedung-gedung pencakar langit.

"Tuan. Maaf, sepertinya kita mendapatkan kabar buruk lagi kali ini."

Lelaki itu memutar kursinya menghadap asal suara dan meletakkan berkas ke atas meja. Menatap lelaki yang terlihat sedikit tua darinya menunduk takut.

"Kuharap tidak lebih buruk dari yang kemarin," gumam Axel, lelaki menawan dengan setelan jas mahal menempel di badan.

"Tom, dia sudah mati. Pembunuh itu tidak membiarkan Tom mati cepat, dia membiarkan Tom menikmati rasa sakit itu sampai merenggang nyawa di rumah sakit." Perkataan yang dikeluarkan Beni, lelaki paruh baya dengan pakaian serba hitam itu membuat Axel menatap tajam Beni tak percaya.

Tangan Axel mengepal keras membuat urat-uratnya terlihat. Rahangnya yang kokoh juga terlihat menegang, sorot matanya begitu berapi-api seolah ada amarah di dalamnya. Axel mengacak rambutnya kesal, "shit!"

BRAAK!!

Pukulan keras di meja yang dihasilkan dari kepalan tangan Axel membuat Beni terlonjak takut, keringat dingin mulai mengucur di sela-sela pori.

"Perintahkan sebagian anak buahku yang mengawasi perusahaan ini untuk memperketat penjagaan. Juga untuk cepat mencari orang yang telah membunuh satu per satu orang-orangku, sebelum aku yang akan membunuh kalian satu per satu!" seru Axel tak ingin dibantah. Badan tegapnya berdiri menghadap jendela kaca besar itu lagi sembari menggigit kepalan tangannya mulai cemas.

With Your BodyWhere stories live. Discover now