27 || Api dan Air

3.4K 177 19
                                    

===

"AKU adalah orang yang selama ini kau cari. Aku ... bukan orang baik. Aku ...." Bulir bening itu menetes, bergulir cepat membasahi pipinya yang dingin. Lalu turun ke leher, disusul tetesan-tetesan sendu lainnya. Dadanya sesak sampai ia kesulitan bernapas. Terlalu banyak rahasia dan kepedihan dalam hidup Ruby, dan kali ini wanita itu harus menggali kembali lubang hitam tak berujung yang bersemayam di hatinya. "Aku pasti orang yang kau benci. Kau pasti ingin melenyapkan aku."

Tidak ada reaksi berlebihan dari Safir. Wajahnya yang lelah hanya bisa menatap Ruby datar. Dua tangannya masih terikat, badannya masih basah, dan hatinya masih bergejolak tidak percaya.

"Safir kumohon," kata Ruby pelan. "Jangan diam saja!" Ia berbalik dan mencari-cari sesuatu dari sela-sela gubuk. Tak lama terlihat Ruby membawa linggis dan menghampiri Safir. Ia menghancurkan borgol yang membelenggu dua tangan Safir sampai patah.

Safir terjatuh saat tangannya terbebas dari belenggu borgol, mungkin karena terlalu lama membuat tangannya keram dan mati rasa.

Ruby menodong Safir dengan linggis yang ia gunakan sebelumnya. "Ambil! Bunuh aku!"

Sementara Safir menatap Ruby heran. "Aku terjatuh! Seharusnya kau membantuku berdiri terlebih dahulu sebelum memerintahku ini atau itu!"

"Ti-tidak usah!" Ruby mendadak gugup, tapi Wanita itu tetap menyodorkan linggis yang ia pegang dan menyuruh Safir membunuhnya. "Bunuh aku! Kau sudah tahu sekarang, jadi tunggu apalagi!"

Safir tetap diam tak bergeming, menanggapi Ruby yang dengan anehnya terus mengatakan hal yang sama. Bunuh aku. Aku pembunuhnya. Kau sudah tahu! Safir memutar bola mata malas. "Aku tidak bisa membunuhmu jika aku masih dalam keadaan seperti ini." Tak lama Safir menjatuhkan tubuhnya, berpura-pura tergeletak lemas tak berdaya. "See? Aku tidak mampu."

Ruby berdecak kesal. Ia menatap Safir tajam dan tak sengaja menendang tong yang berisi api di dalamnya, sengaja Ruby buat sebelum menemui Safir agar gubuk terlihat sedikit terang, tapi ternyata tendangan Ruby terlalu keras membuat penyulut apinya berhamburan ke mana-mana, api cepat menjalar keluar.

Safir hanya bisa menghela napas pasrah dan terpaksa bangkit dengan susah payah. "Aku tidak terkejut. Kau memang selalu ceroboh, bukan?"

Padahal tadinya Safir ingin mengerjai Ruby, mungkin dengan cara sedikit bermanja mengingat betapa tersiksanya dia berada di gubuk itu selama seharian. Tetapi semua rencananya menguap saat sifat kekanakan Ruby yang mengakibatkan kecerobohannya itu kembali terjadi. Gubuk terbakar hanya karena tendangan Ruby yang tidak seberapa.

"Di sini banyak minyak tanah. Sebaiknya kita---

BLAR!

Api menyambar cepat membuat Ruby terperanjat dan menggenggam lengan Safir erat.

Safir meringis, tapi tak sedikit pun pria itu mengeluh. Tangannya masih terasa sakit, bahkan seluruh tubuhnya sakit. Ia meraih belakang lutut dan punggung Ruby sehingga bisa mengangkat tubuh Wanita itu. Dengan cekatan Safir berjalan cepat menghindari bara api yang mencoba mendekatinya mengingat badannya terkena minyak tanah. Akan sangat mengerikan jika api itu menyambar badannya.

Sementara Ruby tersenyum lebar dan malah tertawa kecil saat Safir berlari mencari jalan keluar.

Safir menggeram gemas. "Kita dalam situasi seperti ini dan kau masih sempat tertawa?"

"Hidup itu hanya sekali. Jika ada seribu alasan yang membuatmu sakit, aku akan mencarikam seribu alasan lainnya untuk membuatmu bahagia," kata Ruby.

"Jadi kau ingin menyakitiku!"

BRUK!

Safir reflek membungkuk dan memejamkan mata saat tahu dirinya terjebak dan tak bisa lari, kayu reot yang mulai kopong berlumuran bara api jatuh mengenai punggungnya. Panas, tapi belum menyakitinya. Sampai Pria itu membuka mata, ia melihat tangan Ruby menghalangi kayu yang tak seberapa itu.

Ruby menyingkirkan kayu itu dan mengelus punggung Safir pelan. "Apa kau tidak apa-apa? Kayu itu tidak sampai melukaimu, kan? Cepat kita pergi."

Melihat hal itu membuat bara api dalam diri Safir hidup. Bukan amarah, tapi semangat. Ia bangkit menahan semua rasa sakit dan panas di mana-mana. Asap mulai mengepul menghambat pernapasan. Safir tidak peduli, ia berlari sekuat tenaga dan menerobos api. Sampai akhirnya Safir menemukan pintu gubuk dan berhasil keluar, meski saat sampai di luar Safir terpleset membuat keduanya jatuh berguling di tanah.

DARR!! DUARR!!

Mereka berdua menutup telinga ketika gubuk itu meledak saat si jago merah melahapnya tanpa ampun. Tak lama Safir dan Ruby hanya diam mengamati gubuk yang terbakar tanpa berkata apa pun. Tanpa menyadari dua mata Chandra yang tengah berkilat marah, Pria itu menggenggam pematik api dengan tangan yang mengerat. Kemudian Chandra berlari meninggalkan tempat.

Safir bangkit, membuat Ruby menoleh. "Mau ke mana?"

"Aku harus ke rumah sakit menemui Intan," jawab Safir.

"Apa?" Ruby ikut berdiri. "Lihat kondisimu sekarang! Kau masih mementingkan Intan? Memangnya Intan sepenting itu?"

Safir tidak menjawab. Ia hanya melirik Ruby sekilas dan melanjutkan jalannya pelan.

"Apa kau marah karena tahu aku adalah seorang pembunuh?" teriak Ruby yang tetap diam di tempat menatap punggung Safir yang menjauh. "Maafkan aku. Ijinkan aku menjadi air untuk meredamkan apimu?"

Safir menghentikan langkahnya dan membalik badannya menatap Ruby dengan senyum dipaksa. Ia menggeleng pelan. "Air dan api itu saling melengkapi. Tapi asal kau tahu, air tidak selalu bisa meredamkan api."

Safir kembali melanjutkan jalannya meninggalkan Ruby sendiri. Ia menghela napas berat dengan perasaan bersalah. Apa Ruby sebodoh itu? Apa Ruby benar mencintai Safir?

Ayolah! Safir sudah mengetahui sejak lama pembunuh itu adalah Ruby!

Dan detik itu juga ia tidak bisa mengambil keputusan. Detik itu juga Safir tidak pernah tegas. Saat itu juga Safir memutuskan untuk mencari pembunuh bayaran yang bekerja sama dengan Ruby. Karena Safir tahu, Ruby tidak bersalah. Wanita itu hanya salah memilih jalan.

===

Telat, ya, maaf. Abis sakit:v sakit hati, sakit tenggorokan, sakit pala, sakit perut, sakit karena mikirin doi.

With Your BodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang