22 || Petir

3.3K 176 15
                                    

===

"Kau ingin memecatku?"

"Ya! Kau dipecat!"

Bukan suara Safir yang menjawab pertanyaan Ruby. Melainkan suara lembut yang membuat telinga Ruby gatal. Intan tersenyum sinis dan menarik pelan lengan Safir, seperti anak kecil yang kemauannya harus dituruti.

"Mengurangi satu karyawan magang di sini tidak membuat Restoranmu bangkrut, bukan?" tanya Intan pelan. Masih berusaha membujuk sang Safir dengan wajahnya yang tampak memelas.

Safir diam. Ruby memang salah, tapi tak sepenuhnya bisa disalahkan. Menurutnya sangat tidak masuk akal ada banyak hewan seperti itu di dalam masakan, lagi-lagi hal itu tidak Ruby lihat. Lagi pun Safir sering memeriksa dapur Restorannya. Dan ia bisa jamin semua bersih.

"Kau dipecat! Keluarlah!" Intan hampir membentak. "Kau sudah tidak dibutuhkan lagi di sini. Jadi untuk apa masih ada di sini?"

Tangan Ruby terkepal kencang. Ia mati-matian menahan dirinya agar tidak menampar Intan di depan Safir. Matanya memerah menahan amarah yang bergerumul di dadanya. Tatapan ia hunuskan tepat di bola mata Intan, gigi Ruby sedikit gemeletuk. "Kau takut aku merebut Safirmu?"

Riak wajah Intan mulai menegang. Senyumnya mendadak pudar.

"Jika kau takut kehilangan. Kapan kau bisa dewasa?" tanya Ruby pelan, sangat pelan sampai hampir tak terdengar karena hujan di luar. "Aku tidak akan mendapatkan Safir, kecuali jika dia menginginkanku."

Intan menahan napas. Tidak, ia sulit bernapas karena perkataan Ruby. Wanita sombong itu selalu saja membuat Intan semakin kesal. Sampai akhirnya Safir memutuskan pergi tanpa berkata apa pun, membuat Intan semakin gemas akan sikapnya yang selalu tidak peduli dengan sekitar. Sedang Ruby, Wanita itu pergi kembali ke dalam dapur. Tak lama setelan koki itu sudah tak dikenakannya lagi. Dia keluar dari Restoran. Dan Intan harap Wanita itu juga keluar dari hidup Safir. Selamanya.

Senyuman itu kembali merekah meski tidak sepenuhnya. Intan kembali duduk di kursi sebelumnya, menatap gadis berkacamata itu dengan mata berbinar. "Sudah kubilang. Safir tidak akan mengingkari janjinya."

Terlihat gadis di depannya menghela napas pelan. Kini pandangannya ia alihkan dari ponsel yang sedari tadi menyita perhatian. "Yang memecat itu kau! Jadi secara tidak langsung Safir mengingkari janjimu."

Intan hanya mengangkat bahu tidak peduli. Seolah sudah terbiasa dengan kelakuan kakak-beradik yang sama sekali tidak memiliki niat untuk peduli dengan hal apa pun. "Seharusnya kau lihat kejadian barusan. Lihatlah bagaimana wajah jalang itu saat aku memecatnya."

Kini, giliran Bruna yang mengangkat bahu tidak peduli. Ia melepas kacamatanya dan menyesap sedikit matcha panas. "Aku tidak ingin menyaksikan hal tidak penting tadi. Membuang waktuku saja!"

===

Hujan adalah hal yang mungkin Ruby tidak sukai. Bukan karena rintiknya membuat sakit, tapi dinginnya hujan kadang mengusik Ruby, seolah dinginnya dunia fana ini belum cukup untuk membuat Ruby menggigil. Terkadang ia membenci dirinya sendiri, memilih jalan yang selalu salah. Ingatannya tak kunjung pulih, tapi ia malah terkekang dalam dunia hitam penuh risiko.

Dan sekarang, Ruby membiarkan hujan membasahi tubuhnya tak peduli seberapa dingin angin menembus kulit. Kali ini saja ia ingin memiliki alasan, mengapa dirinya harus melibatkan Safir ke dalam hidupnya. Mengapa ia harus memiliki ambisi untuk membuat pria seperti Safir jatuh pada pesonanya. Nyatanya Ruby hanya membuang waktu dengan bekerja di restoran. Nyatanya Safir bukan pria yang bisa dengan mudahnya diremehkan. Safir benar, ia berbeda.

Dan Ruby menyukai perbedaannya.

Pikirannya ingin jernih. Oleh karena itu Ruby biarkan air hujan membasahi kepala agar segala risau yang terus berputar di dalam kepalanya ikut luntur tersapu air hujan.

With Your BodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang