14 || Nyanyian Bruna

4.5K 182 3
                                    

===

Kelopak mata Ruby terbuka lebar dan mulutnya sontak menganga saat melihat Intan yang tiba-tiba berada tak jauh dari dirinya dan Safir. Ia mengumpat dalam hati, kebiasaannya menggoda Safir tanpa tahu tempat sepertinya sudah menjadi hobi. Sekarang Intan melihat kejadian itu sekali lagi, seolah memang membenarkan perkataan Intan bahwa Ruby adalah seorang jalang. Ruby memang jalang, tapi ia tidak suka sebutan itu, mungkin bitch lebih keren. Meski artinya sama saja.

Safir berlari menghampiri Intan dengan panik membuat kedua alis Ruby beradu. Setelah beberapa saat ia baru menyadari bahwa Intan seperti kesulitan bernapas. Kakinya melangkah cepat menghampiri Safir yang sudah menopang tubuh Intan.

"Ada apa? Apa kau kesulitan bernapas?" tanya Safir khawatir. Ruby mendelik sebal, sepertinya Intan sangat berarti untuk Safir.

Tatapan Intan beralih menatap Ruby, tajam seolah ingin menghabisi wanita itu. Tangannya masih memegang dada kanan dan berusaha untuk bernapas. Mata dan wajahnya sudah memerah. "Kau ini benar-benar manusia jalang!"

Ruby diam. Yang dikatakan Intan memang benar, ia tidak bisa membatah walau sebenarnya sekarang hatinya tengah terbakar karena perkataan itu. Ia salah mendekati Safir, tapi ia hanya mengikuti kata hatinya. Jika ia nyaman dengan Safir sekali pun status Intan adalah istri Safir, Ruby tidak akan menjauh. Mungkin membunuh Intan adalah opsi terbaik.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Safir lagi. Ia memegang kedua pundak Intan dan menghadapkannya paksa. "Lupakan masalah tadi. Itu tidak seperti yang kau pikirkan."

Intan mengalihkan pandangannya dan menatap Safir. "Tidak seperti yang aku pikirkan bagaimana? Jelas aku lihat jalang ini berusaha menggodamu tadi! Dan kenapa kau hanya diam?"

"Mm." Safir bahkan tidak tahu mengapa ia hanya diam tadi.

"Aku tidak mau melihat--

Tiba-tiba saja Intan berhenti berbicara. Napasnya semakin terdengar jarang dan tersendat. Ia meringis kesakitan sampai akhirnya Safir benar-benar menahan tubuhnya karena ia sudah tak sanggup berdiri.

"Astaga sudah aku bilang kontrol emosimu! Ruby kau bisa menyetir?" tanya Safir menatap Ruby yang masih terdiam.

Ruby hanya melirik sekilas kemudian mengangguk pelan, dapat ia lihat wajah Safir yang terlihat sangat cemas. Safir merogoh cepat saku celana dan memberikan Ruby kunci mobil miliknya.

"Antar aku ke rumah sakit!" seru Safir seraya mengangkat Intan ke dalam dekapan dan berjalan sedikit tergesa. Ruby hanya bisa mendengkus pasrah dan mengikuti Safir dari belakang dengan sedikit berlari.

Beberapa koki lain di sana yang tidak sengaja melihat kejadian barusan hanya menggeleng pelan dan menghela napas.

"Kenapa Tuan harus menyuruh Ruby ikut? Pekerjaannya saja selalu tidak benar. Hei Tuan Safir! Ruby bahkan harus memasak," oceh salah satu koki bebadan gempal dan melirik sinis ke arah Ruby yang sudah menjauh.

Jason yang kebetulan ada di sana dan mendengar ocehan koki gemuk itu buru-buru menyela. "Kau tahu sendiri Nona, Tuan Safir menerima koki hanya karena dia orang baik. Aku yang bukan lulusan luar saja diterima, padahal aku belum punya pengalaman apa pun. Apalagi wanita secantik Ruby?"

===

Jemarinya bertautan sembari bergerak tidak bisa diam, memijat asal. Matanya bergerak ke sana kemari, menatap apa pun mencoba mencari sesuatu yang lebih menarik dari seorang pria yang terlihat cemas. Ruby tidak cemas sama sekali, untuk apa mencemaskan wanita yang sangat menyebalkan sejenis Intan? Akhirnya ia memutuskan untuk menatap vas bunga, lantai, dinding, dan semua benda yang ada di koridor rumah sakit. Menganggap benda itu indah agar matanya tidak kembali melirik ke arah Safir. Karena setiap kali Ruby melihat Safir, seperti ada sesuatu yang aneh timbul dalam dirinya. Seperti ... jantungnya serasa lebih hidup dari sebelumnya(?)

With Your BodyWhere stories live. Discover now