6. Dream Fragments

11.1K 1.3K 28
                                    

Masih satu mil jaraknya dari manor, namun penciuman Juda yang peka langsung mengetahui sesuatu yang salah. Dengan cepat dia bergerak melebihi bayangan. Sesampainya di sana, matanya berpijar nyalang. Juda kemudian berjongkok di tengah-tengah garis gerbang, mendapati ceceran darah yang beraroma menusuk.

"Tuan Juda!" Salah seorang pengawal berlari menghampiri. Ekspresinya mirip rusa yang baru saja lolos dari kejaran singa, namun dia tahu predator lain bisa sewaktu-waktu memangsanya lagi.

Tidak menunggu paparan pengawal itu mengenai apa yang telah terjadi, Juda mendongak. Dia mengarahkan pandangannya ke balkon pertama di deretan lantai dua manor. Di sanalah kamar Susa berada. Penerangannya masih menyala, tapi Juda langsung tahu jika gadis itu sedang tidak berada di ranjangnya.

"Apa mereka berhasil membawanya?" tanya Juda yang mengepalkan tangan kuat-kuat, sampai timbul bunyi gemeletuk yang menyeramkan.

"Kami menahan mereka di luar gerbang, tapi nona sudah keluar dari manor. Mereka juga membunuh tiga orang pengawal yang lain."

"Sudah berapa lama?"

"Belum ada dua jam yang lalu, tuan."

Juda menggertakkan rahang. Satu jam adalah waktu yang lebih dari cukup untuk mereka menyiksa Susa bahkan langsung membunuhnya. Tidak berkata apa pun lagi, Juda langsung berbalik pergi dan menghilang dalam satu kedipan mata. Dia bahkan tidak mau repot-repot menitipkan pesan bila Vonn kembali nanti, karena Juda yakin laki-laki itu akan langsung bertindak tanpa berpikir panjang.

***

Iris ungu milik Corinth seolah menjadi magnet yang menarik jiwanya. Tidak cukup melekatkan pandangan Susa, kilau ametis yang berkilat itu juga berpengaruh pada jantungnya yang berdegup liar. Tanpa dia sadar, ikatan pada kaki dan tangannya terlepas. Susa bisa menarik tangannya kemudian menumpu di atas pundak Corinth.

"Kau pasti sangat ketakutan." Bukan hanya sorot matanya yang begitu lembut, suara laki-laki itu terdengar merdu lewat nadanya yang berat.

Dia laki-laki yang berdansa bersamanya di pesta waktu itu. Bagaimana mungkin Susa bisa lupa pada iris matanya yang indah? Tidak ada yang memiliki mata itu selain dirinya—entah kenapa Susa menyimpulkan demikian. Mulutnya membuka sedikit, tapi tidak mengeluarkan suara untuk membalas Corinth. Agak kikuk, Susa menyentuh wajah Corinth dengan jemari tangan kanan.

Tiap lengkung yang sangat indah dan sedikit berkilau karena berlapis peluh yang tipis. Alisnya sedikit tebal, namun tumbuh membusur rapi lalu menyudut lancip di sisi terluar. Kelopak Corinth refleks menutup saat Susa mengusapkan telunjuknya ke pelipis laki-laki itu. Dari atas, sentuhannya menurun ke pipi. Susa juga memperhatikan hidung bangir Corinth hingga bibir tipisnya yang mengatup.

Padahal laki-laki itu masih terbilang asing untuknya, tapi mengapa? Mengapa rasanya susah sekali mengalihkan perhatian dari sosok indahnya?

Corinth membuka matanya lagi dan dia tersenyum lebar membalas kecanggungan Susa.

"Kau akan punya banyak waktu untuk memuaskan keingintahuanmu, Susa," katanya. "Sekarang kita harus pergi sebelum orang lain datang dan menemukan kekacauan ini."

Susa berkedip cepat. Tiba-tiba dia teringat pada suara-suara yang dia dengar sesaat lalu. Ikatan di kepalanya mencegah dia melihat semuanya. Dia lantas menoleh. Pandangannya mengedar dan hatinya seketika mencelus. Tubuh-tubuh itu tidak bergerak. Mereka berkubang dalam genangan darah mereka sendiri.

Napas Susa memberat. Tanpa sadar dia mencengkeram lapisan pakaian di bahu Corinth.

"Jangan takut," bisik laki-laki itu, mengundang Susa supaya meneleng kembali padanya. "Mereka tidak akan bisa menyakitimu lagi selama ada aku di sini. Kita pergi sekarang supaya aku bisa mengobati lukamu."

CassiopeiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang