38. Lantern

5.2K 706 51
                                    

Susa butuh waktu lebih lama untuk mampu mencerna semuanya. Jemari Corinth yang luruh seperti terbuat dari butiran pasir yang telah mengering. Cepat-cepat digenggamnya tangan yang lain supaya tidak mengalami hal serupa. Di tengah kebingungannya, sekali lagi Susa terpaku. Dada kanan Corinth juga terluka. Di sana terbentuk lubang yang perlahan terlihat lapuk dan rusak.

"A-apa ini? Apa yang terjadi? Kita harus melakukan sesuatu!" kata Susa panik.

Corinth hanya diam. Yang dilakukan laki-laki itu kemudian adalah menekuk kakinya dan terduduk. Susa mengikuti sambil tetap meremas tangan Corinth yang masih utuh, juga menekan luka di dadanya. Tekanan itu sayangnya justru membuat bagian dadanya semakin rusak.

"Apa yang harus kulakukan? Kumohon, katakan! Gail? Di mana Gail? Corinth, di mana Gail?"

Garnet ungu Corinth menatap Susa. Sedikit pun dia tidak menunjukkan tanda-tanda akan menjawab pertanyaan gadis itu hingga Susa semakin khawatir. Kesedihan, kebingungan dan keputusasaannya terpampang amat jelas. Betapa Corinth ingin berkata semuanya akan baik-baik saja, mengenyahkan raut yang tidak disukainya itu dari wajah Susa. Tapi tidak bisa. Alhasil dia hanya bisa menunjukkan senyumnya pada gadis itu.

Kali ini, Susa yang benar-benar tidak menyukainya. Seolah-olah ekspresi itu adalah rona yang akan terakhir kali dia lihat setelah semua yang mereka lalui.

"Hidupku yang panjang dan getir ... dingin tanpa cahaya," ujar Corinth dengan pandangan menerawang. "Siapa yang bisa menduga matahari ... ataupun rasi bintang yang menghias malam datang dalam wujudnya yang lain? Sepasang mata hazel itu, tidak pernah sekali pun kulupakan walau dalam tidur panjang."

Susa langsung paham siapa yang dimaksud Corinth. Permaisurinya yang meninggal dengan cara yang tragis. Mereka tidak bisa mencegah apa pun yang terjadi pada laki-laki itu, jadi Susa memaksa dirinya untuk diam manis dan mendengarkan—walaupun hatinya pedih.

"Dia bahagia saat aku membawanya pergi. Kastilku yang dingin dan muram entah sejak kapan berubah menjadi arena bermainnya—seperti malaikat yang bermain-main di tempat yang tidak seharusnya ...," papar Corinth sendu. "Setelah orangtuaku membunuh diri mereka sendiri karena larut dalam kegilaan hidup abadi, tidak ada yang pernah memanggil namaku lagi. Mereka takut padaku seperti seharusnya. Tapi dia ..."

"Tuan, siapa namamu?"

"Ratusan tahun berlalu ... aku bahkan hampir melupakan namaku. Saat dia mengetahui namaku, dia menyebutnya setiap hari dengan nada yang berbeda-beda. Terdengar seperti sebuah pelukan yang hangat. Aku ingin memilikinya dengan menjadikannya sama denganku, tapi akhirnya aku sadar dia adalah dia ... Aku tidak bisa mengubahnya yang sudah teramat sempurna."

Satu garis berkilau nampak pada pipi Susa. Corinth lantas mengusapnya lembut.

"Aku pun tidak bisa melakukan hal itu padamu," ucapnya. "Saat aku tahu kau bukan Kisara ... kesedihanku jauh lebih besar daripada kemarahanku. Namun ternyata, aku baru bisa mengakui di saat-saat terakhir kalau aku pun telah ... mencintaimu begitu besar. Bukan kau sebagai Kisara. Kau adalah dirimu sendiri, Susa. Sangat berbeda.."

Pundak gadis itu bergetar menangkup tangan Corinth yang masih menempel di pipinya. Butiran-butiran pasir telah timbul. Sesuatu juga menggerogoti tubuh Corinth yang makin melemah. Susa seperti dihadapkan pada manekin yang telah rusak.

Kalau anak itu hidup ..., batin Corinth. Dia akan menjadi cahaya yang baru. Corinth telah menyia-nyiakannya. Tapi langit memberinya kesempatan dengan memberinya waktu bersama dengan cahaya baru itu sekali lagi.

Walaupun amat sangat singkat ...

"Jangan pergi ..." Susa memohon. Beberapa kali dia melemparkan pandangan ke sekitar, berharap akan ada Gail, atau siapa pun yang bisa menolong mereka. Tapi yang dia lihat hanyalah sosok Vonn yang bergeming sedih. "Jangan tinggalkan aku ..."

CassiopeiaDove le storie prendono vita. Scoprilo ora