34. The Only Girl in the Corner

4.8K 669 110
                                    

Sehari sebelum Denior menyerbu, Susa tidak heran mengetahui Gail datang ke manor. Corinth berkata kalau dia ingin menyudahi semuanya. Laki-laki itu merasa tidak perlu menemui Susa lagi setelah urusan mereka selesai. Dia membentangkan jarak keduanya, memberikan garis yang tidak bisa dilewati Susa. Bagaimana mungkin Susa bisa menahan seseorang yang kentara membencinya sekarang?

"Bagaimana kabarmu?" tanya Gail setelah keluar dari manor menyambutnya. Sesungguhnya dia tidak perlu bertanya, karena raut gadis itu telah menjelaskan segalanya. Air muka yang sendu, sorot yang redup, serta napasnya yang terdengar berat—kalau Gail tidak salah menyadari.

"Biarkan kudamu dibawa oleh Vonn. Kita naik ke kereta kuda yang sama." Susa mengabaikan sapaan Gail. "Aku hanya akan mengantarmu sampai ke sana dan akan segera kembali ke sini lagi. Tidak apa-apa kan?"

Gail mengangguk. "Baiklah."

Di dalam kereta, mereka duduk saling berhadapan. Keheningan panjang menguasai mereka. Hanya langkah kuda yang memenuhi telinga, dan guncangan yang perlahan memberikan penat di kepala. Gail terus memandang Susa dan gadis itu meneleng pada jendela yang terbuka lebar.

"Aku lahir lebih dulu dibanding dia," ujar Susa pelan. Sekarang tidak ada gunanya lagi menyembunyikan kenyataan tersebut. Kenyataan yang membelenggunya selama delapan tahun. Sumber mimpi buruknya.

Kembar, batin Gail. Dugaannya ternyata benar. Hanya itulah penjelasan yang masuk akal bila wajah keduanya identik.

"Sebelum Raja Bethratèn sebelumnya berkuasa, ada satu lagi negeri bernama Artere. Negeri yang kecil. Ibuku sendiri adalah adik bungsu raja. Saat perang berkecamuk, mereka tunduk pada Bethratèn dan Denior. Semuanya musnah, lalu ibuku menjadi selir pangeran alih-alih dibunuh. Nama keluarga sebelum menikah, dan semua kepunyaannya yang berasal dari Artere dirampas. Marga Llaner pun dilupakan seiring dengan berjalannya waktu, lalu pada akhirnya aku mengambilnya.

"Saat permaisuri meninggal, ibuku menjadi permaisuri yang baru. Dia mencoba melupakan masa lalunya di Artere dan berbahagia karena telah memiliki kami—aku dan Sara. Istana menjadi tempat yang menyenangkan. Dibandingkan aku, Sara lebih mirip ibu. Keduanya punya cahaya yang tidak pernah kumiliki. Karakterku lebih mirip ayahanda yang tidak pernah mengacuhkan kami."

Sara begitu mudah berbaur dengan orang lain—termasuk Teira, putri tunggal permaisuri sebelumnya. Di saat tidak ada orang di istana yang menyukai Teira, Sara justru menjalin pertemanan yang rekat dengannya. Sedangkan Susa lebih memilih menghabiskan waktunya berdiam di satu ruang dan membaca.

"Tapi waktu tidak pernah menjanjikan apa pun," kata Susa yang tersenyum tipis. "Ayahanda mulai terjerumus pada pesta-pesta yang megah. Dia mengangkat beberapa selir sekaligus. Perempuan-perempuan bergiliran keluar masuk dari kamarnya. Sebagian dari mereka melahirkan pangeran—mengukuhkan kedudukan mereka di istana. Hati ayahanda makin condong, terhasut oleh bisikan-bisikan itu. Para bangsawan bahkan dengan lancangnya berani mengusulkan penggulingan permaisuri.

"Seperti yang kubilang, ibuku adalah pribadi yang tegar dan menyenangkan. Tapi di satu titik, kebencian yang dia pendam telah mencapai puncaknya. Muak berada di sana, dia memutuskan pergi. Kami bertiga meninggalkan istana—ibuku, aku, dan Sara. Aku menjadi pion yang penurut, tapi Sara berbeda. Dia tetap ingin berada di sisi ayah, juga anak-anak dari para selir yang dianggapnya saudara." Susa terdiam sejenak. Tawa kecil yang hambar lolos dari bibirnya. "Mereka terlalu meremehkannya hingga tidak merasa perlu membenci Sara. Sara yang naif percaya dengan penjilat-penjilat semacam itu."

"Membuat makhluk seperti itu bertekuk lutut padamu ... hal besar macam apa yang telah kau berikan?"

Pertanyaan Corinth terngiang dalam benak Susa. Laki-laki itu pernah memberikan tatapan menyelidik padanya, penasaran tentang hubungan Susa dan makhluk seperti Juda serta Vonn.

CassiopeiaWhere stories live. Discover now