Chapter 18 : Truth

1.1K 111 11
                                    

Surya termenung diatas kasur miliknya sembari masih mendengarkan cerita sang ayah sedangkan sang ayah hanya bisa terduduk lesu di depan dirinya, Bagas tengah memilah kata-kata selanjutnya yang tepat untuk dilontarkan keanak semata wayangnya tersebut.

"Ibumu tidak sadarkan diri disaat ayah dan pak Kusni sampai di rumah sakit, karena kondisi ibumu semakin lemah akhirnya dilakukanlah operasi saat sore harinya, hari itu engkau lahir akan tetapi ibumu..."

"Cukup ..." seru Surya dengan suara serak menahan isak tangis.

Tanpa mengindahkan kata-kata anaknya Bagas tetap melanjutkan kalimatnya,  "dikarenakan kondisi ibumu yang kritis dokter berkata pada ayah bahwa ayah memiliki dua pilihan, ia memberikan pilihan yang paling sulit dalam hidup ayah, piliha  antara ibumu atau dirimu Surya, ayah harap engkau mengerti mengapa ayah harus merelakan ibumu, ibumu …."

"CUKUP...!! HENTIKAN...!" teriak Surya tertuju ke ayahnya sembari menundukkan kepala ia terlihat meremas erat sprei kasur dan menahan isak tangis yang siap meledak kapanpun.

Ayah berdiri dan secara perlahan berjalan menuju sang anak yang tengah tertunduk sembari gemetar menahan amarah, Ayah memeluk Surya lembut sembari mengusap pucuk kepala anaknya.

Dikala itu Bagas sudah menceritakan kisah kelam tujuh belas tahun yang lalu sedetil mungkin kepada Surya, yang dia harapkan hanya pengertian sang anak terhadap pilihannya untuk menyelamatkan Surya.

"Menangislah, jangan engkau tahan Surya, sesekali lelaki juga manusia yang bisa menangis. "

Tangis tertahan Surya pecah di pelukan sang Ayah, derai air mata menetes membasahi kemeja sang ayah.

"Ibumu menyayangimu Surya, ia mengorbankan nyawanya untukmu, jadi hiduplah dengan penuh semangat," seru ayah tertahan pelukan Surya yang semakin erat.

Selang beberapa menit tangis Surya semakin memudar walau isaknya masih menemani suaranya yang parau, sang ayah menatap teduh wajah anaknya menatap langsung ke mata sang anak yang sembam karena tangis kemudian berkata.

"Selalu berikan senyum hangat selayaknya Matahari pagi seperti yang ibumu lakukan dulu pada ayah, karena kamu anaknya."

Surya memeluk erat sang ayah kembali kemudian berkata.

"Surya janji akan menjadi lebih kuat!"


Siang berganti sore, warna jingga di langit semakin memperlihatkan indahnya seakan sang senja bersolek menyambut sang malam, waktu memperlihatkan pukul lima sore, Surya tengah tertidur dengan pulasnya, setelah shalat ashar ia terlelap begitu saja, efek obat mempengaruhi metabolisme tubuhnya.

Di sebelah Surya duduk dengan manisnya seorang gadis berhijab putih, dengan masih memakai seragam sekolah ia tengah mengupas buah apel untuk sang lelaki di sampingnya yang sebentar lagi bangun bersamaan datangnya sang malam.

Kumandang adzan maghrib bersua di kolong langit ibukota, sang lelaki mulai membuka matanya perlahan, di depannya terlihat sang gadis tersenyum manis menatapnya.

"Kamu sudah bangun, mau makan apel atau shalat dulu?"

"Shalat dulu, Ra tolong bantu aku dong," pinta Senja pelan.

"Bantu apa?"

"Tuntun aku ke kamar mandi, aku mau wudhu," seru Senja.

"Tayamum aja sih, jangan di paksa gitu." ketus Naura.

"Lukanya sudah enggak begitu sakit kok, aku sanggup ke kamar mandi buat wudhu," terang Senja.

Surya Dikala SenjaWhere stories live. Discover now