Perseteruan (1)

2.9K 177 0
                                    

Adanya perasaan terancam atau khawatir pacar kita akan direbut sahabat yang secara fisik lebih sempurna dari pada kita, adalah suatu hal yang wajar.

Tapi hanya lelaki tak berperasaan yang mudah mengalihkan hati hanya karena melihat fisik yang lebih sempurna

Nona tidak menyangka jika dua bungkus mie yang dibawa Billy ternyata akan diberikan kepada ibunya. Lebih tidak menyangka lagi saat ibunya mengenali sosok Billy dengan baik. Bahkan seolah-olah mereka sudah lama saling kenal.

“Loh, Billy ternyata kenal sama Nona?” tanya Mama Arni antusias sekaligus ramah sambil menerima bungkusan itu. Nona melongo heran.

“Iya, Tante. Cuma dulu nggak begitu dekat,” sahut Billy tenang dengan senyum khasnya.

“Oh, jadi sekarang sudah dekat?” Mama Arni bertanya penuh tanda tanya kemudian melirik Nona seperti mencari kebenaran. Bukannya pacar anaknya namanya Marvin ya?

“Maksudnya sekarang sudah lebih kenal dari kemarin, Tante,” lanjut Billy tidak enak karena sepertinya teman ibunya ini berpikir terlalu jauh.

“Hm, baguslah. Tante senang kalau kalian sudah saling kenal apalagi bisa jadi teman dekat.”

Billy tidak menjawab. Dia hanya tersenyum sebagai jawabannya. Yah, namanya ibu-ibu, pasti ingin anak mereka berjodoh dengan anak sahabat.

Akhirnya Billy pamit pulang dengan ucapan terima kasih dari Mama Arni, Nona tidak sabar lagi untuk tidak bertanya.

“Mama kenal Billy dari mana sih?”

“Loh, dia kan anaknya Tante Susi. Mama sering ke rumah Tante Susi dianter kakakmu. Tapi semenjak kakakmu kerja di Pekanbaru, Mama belum pernah main ke sana lagi. Besok-besok Mama minta antar kamu saja kali ya,” perjelas Mama Arni panjang lebar sambil membuka bungkus mienya.

“Kalau bisa naik taksi kenapa musti dianterin Nona?” berungut Nona sedikit kesal.

“Biar anak-anak Mama sama anak-anak teman Mama saling kenal, dong. Lebih bagus lagi kalau ada yang berjodoh. Sepertinya kamu dan Billy juga cocok.”

“Mama mau jodohin Nona?”

“Ya nggaklah. Zaman sekarang mana ada anak muda yang mau dijodohin. Cuma dikenalin. Kalau ternyata kalian sudah kenal, ya syukur deh.”

Tapi Billy bukan tipeku, batin Nona. Dia berdiri mematung sambil berpikir. Sedikit membandingkan Billy dengan Marvin.

Secara fisik mereka memang sama. Sama tingginya. Sama proporsional badannya. Bedanya lebih pada selera penampilan saja. Marvin lebih gaul dan bebas. Sedangkan Billy lebih rapi dan serius.

Memang, kalau untuk dijadikan pacar, Billy lebih bisa dipercaya. Cowok itu lebih pendiam. Tidak urakan. Sikapnya lebih sopan. Bukan tipe cowok yang suka menggoda cewek. Intinya Nona suka.

Argh! Kok bisa jadi membayangkan Billy sih? Nona melempar sebungkus mie sisa yang dibawanya. Kekagetan ibunya membuatnya sadar.

“Apaan sih, Non? Kok main lempar saja. Nggak sopan, tahu?” omel Mama Arni dengan dahi berkerut.

“Aduh, Ma, maaf. Nggak sengaja.” Nona segera mengambil bungkusan itu lagi dan meletakkannya baik-baik.

“Kamu melamun ya?” selidik Mama Arni masih dengan raut muka yang sama.

“Ah, nggak kok. Nona ke kamar dulu ya, Ma.”

Nona segera berlari menjauh sebelum ibunya bertanya macam-macam. Karena ibunya pasti bisa menebak apa yang sedang Nona pikirkan. Ibunya itu terlalu jeli dalam memahami situasi dan keadaan. Nona tidak mau ibunya membaca pikirannya saat ini. Apalagi hatinya.

***

Nona masih ngambek. Itu kesimpulan Marvin. Karena sudah tiga kali telepon tidak dibalas. Pesan juga tidak dibalas. Kalau tidak dibalas berarti minta dijemput. Itu pasti.

Tapi nyatanya ketika Nona tidak mau keluar juga saat Marvin sudah di depan rumahnya, Marvin melenggang pulang dengan santainya. Pacarnya masih marah, ya sudah. Nanti juga sembuh-sembuh sendiri, begitu pikirnya. Tidak ada Nona tidak membuat mood-nya jelek. Seorang Marvin akan tetap happy. Tidak ada Nona tidak membuat Marvin mengurung di kamar. Seorang Marvin akan tetap kelayapan. Kemana lagi kalau bukan ke rumah targetnya yang baru. Monic.

Lalu disinilah dia sekarang berdiri dengan sikap gentle-nya, di teras rumah Monic. Dia berpenampilan sekeren mungkin supaya Monic terpukau. Karena gadis itu sulit kagum. Seringkali melecehkan. Entah apa yang membuat Monic bisa nyaman berada di samping tukang pamer otot seperti Rambo.

Monic keluar tidak sengaja memamerkan kemolekan tubuhnya. Sampai rasanya Marvin tidak mampu menelan ludahnya sendiri. Memang tidak sengaja karena Monic terbiasa memakai hot pants dan u can see saat di rumah. Kalau tahu Marvin yang datang, dia pasti ganti baju dulu. Sekarang sudah terlambat untuk kembali. Dia sudah bertemu dengan Marvin.

“Ada apa?” tanya Monic tidak bersahabat. Sikapnya yang acuh tak acuh, bersedekap sambil memalingkan wajah. Dia benci sekali ditatap demikian. Seolah-olah sedang tidak pakai baju saja. Coba lihat tatapan Marvin yang begitu liar!

“Jalan, yuk,” jawab Marvin serak. Dia sudah bisa menelan ludah lalu menarik napas panjang. Senyum jail mulai menghias wajah gantengnya lagi.

“Malas.”

“Ayolah, Nic, masa nggak bosan di rumah terus. Malam minggu begini enak jalan ke klub. Yuk!” Marvin menampilkan sorot mata andalannya. Dingin-dingin menusuk. Senyumnya juga mengesankan, dengan sebelah ujung bibir yang naik ke atas.

Monic terkesima sesaat dan menyadari betapa kerennya pacar temannya ini. Dia tidak bisa menolak lagi. Tapi keasyikkan mereka tidak berlangsung lama. Karena satu jam kemudian mereka bertemu dengan Nona di tempat yang sama.

***

Vote
Vote
Vote
😊

Love Is You (Tamat)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora