Ada Rasa Antara Kita (1)

2.2K 141 0
                                    

Pilihan ini sebagai bentuk penyilih rasa bersalah. Karena rasa yang sesungguhnya masih untuk dirinya seorang.

Meski tidak bersalah, Billy tetap merasa bersalah. Dia tidak pernah menyangka Mia akan seberani itu mempertaruhkan nyawanya. Untung saja gadis itu tidak apa-apa. Bagaimana jika seandainya mobil itu melaju kencang? Bisa saja terjadi masalah yang lebih parah. Patah tulang? Luka serius? Atau mening...

Billy tidak bisa begitu saja membiarkan Mia menghadapi kemelut hatinya sendiri. Karena itu ketika Mia sudah dibawa pulang oleh orang tuanya, Billy memutuskan untuk menjenguk Mia keesokan harinya. Tidak peduli meski harus menempuh perjalanan selama empat jam.

"Untuk apa lagi, Bil? Kalau kamu ke sana, Mama khawatir akan ada masalah baru lagi," ucap Mama Susi sedikit kesal.

"Mia melakukan itu karena Billy, Ma. Billy harus ke sana untuk menyelesaikan masalah."

"Tapi bukan kamu yang menyuruhnya menghadang mobil."

"Jelas bukan, Ma. Tapi Mia sakit hati sama Billy."

"Karena kamu menolak cintanya?" Mama Susi menghembuskan nafas lelah. "Itu sih bodoh namanya."

Billy terdiam. Dia memang sadar perbuatan Mia sudah keterlaluan. Apa yang akan orang lain kira tentang kejadian kemarin? Pasti bukan sesuatu yang baik baginya. Jadi tidak ada jalan keluar lain kecuali menemui Mia.

Billy tiba di rumah Mia ketika gadis itu sedang berbaring sambil menonton televisi. Billypun sudah tidak peduli meski sambutan ibu Mia tawar sekali. Tidak judes tidak pula ramah. Justru yang berbinar adalah Mia. Gadis itu langsung bangun dari tidur menyambut pujaan hatinya.

"Billy."

"Hai, Mia. Gimana kepalamu? Pinggangmu?"

"Nggak apa-apa. Udah sembuh. Kemarin pinggangku juga sudah diurut," Mia tersenyum lembut. "Kamu sendiri?"

Billy hanya mengangguk sambil balas tersenyum tipis. Dia mengamati rumah Mia sebentar kemudian memandang gadis itu lagi lebih serius. "Kenapa kamu berani sampai melompat menerjang mobil?"

Wajah Mia berubah. Dia kehilangan senyumnya. Dia menunduk lama sebelum menjawab. "Waktu itu aku cuma kepikiran satu hal, kalau aku kecewa, aku putus asa. Dan pikiran itu tiba-tiba saja muncul di waktu yang tepat. Tepat saat ada mobil..."

"Masih beruntung kamu nggak apa-apa. Kalau sampai ada cedera, kamu juga yang rugi."

"Iya, memang aku yang salah. Aku memaksakan diri," Mia menyusut sebelah pipinya yang sudah basah karena air mata. Melihat itu membuat Billy merasa kasihan.

Billy tidak ingin rasa bersalah dan iba akan membuatnya membohongi diri sendiri dengan menerima cinta Mia. Tapi apa lagi yang perlu diragukannya? Barangkali apa yang pernah Mia katakan adalah benar. Jika saja Billy mau memberinya kesempatan, tidak menutup kemungkinan bahwa Billy bisa saja jatuh hati pada Mia. Billy lebih dulu pesimis sebelum mencobanya.

Tapi bagaimana mungkin Billy mampu melakukannya sedangkan dalam pikirannya terbayang sosok gadis lain? Gadis yang sudah mengambil hatinya. Yang tidak mudah sirna meskipun cintanya tak berbalas.

Semalaman Billy tidak bisa tidur lelap karena memikirkan perasaannya. Memikirkan keputusan apa yang harus diambilnya. Dan sekarang dia sudah menemukan jawabannya.

"Mia, kalau kamu sembuh nanti, aku ingin ngajak kamu jalan."

Mia menoleh sedikit terkejut. Billy mengajak pergi? Apa dia tidak salah dengar?

"Betul, Bil?" tanyanya antusias. "Tapi untuk apa?"

"Kalau kamu masih mau, kupikir nggak ada salahnya kalau kita mencoba menjalin kasih."

Kata-kata Billy seolah membuat Mia berhenti bernafas. Dia ingin meyakinkan diri bahwa dia tidak sedang bermimpi. Ini adalah kenyataan. Billy mengajaknya menjalin kasih. Tidak ada pernyataan cinta. Tidak ada permintaan ketersediaan. Tapi entah mengapa, Mia sudah tidak peduli apa-apa lagi. Dia terlalu bahagia.

Hingga ketika dia sudah kembali ke kampus setelah libur semester, Mia langsung mentraktir Nona dan Monic makan. Dia begitu ceria sampai bercerita semua hal dengan girang. Kedua temannya memang mengerutkan kening karena heran. Moniclah yang berani bertanya lebih dulu.

"Lo happy amat sih, Mia? Karena nggak jadi mati?"

"Eh, ngaco!" Mia meneguk minumannya sampai habis. "Denger baik-baik, ya. Si Billy ngajakin gue pacaran." Mia tertawa bahagia sambil tangannya bergerak kesana kemari saking senangnya.

Berita itu membuat Nona tercekat. Seolah dia mendengar bahwa kekasihnyalah yang baru saja jadian dengan Mia. Wajahnya diliputi ketegangan. Aneh memang. Mengingat Billy bukanlah siapa-siapanya. Lalu kenapa mesti kaget?

"Wah, selamat Mia. Akhirnya Billy jatuh juga dipelukan lo." Monic menyahut dengan lemas.

"Ih, kasih selamat gitu kok lemes sih. Kayak lagi kesusahan aja. Emang kenapa?"

"Kalau lo baru jadian, gue sebaliknya. Gue lagi ada masalah sama Rambo."

Nah, berita yang ini juga membuat Nona berjengit. Monic ada masalah sama Rambo? Itu berarti Marvin punya kesempatan dua kali lipat untuk menggoda sahabatnya lagi, bukan? Tapi bukankah Marvin sudah berjanji tidak akan main api lagi?

"Astaga, tapi nggak putus, kan?"

"Nggak kok. Rambo nggak mau mutusin gue. Dia bilang cinta mati sama gue."

"Ehm, so sweet," kemudian Mia menoleh pada Nona. "Non, kok diem aja sih?"

"Eh, iya selamat, Mia. Moga langgeng sampe..." Nona terdiam. Kenapa juga harus bilang begini? Tapi sialnya Mia mengerti kemana arah bicaranya.

"Sampe menikah!" lanjut Mia lebih girang. "Eh, tau nggak, Billy udah diterima kerja loh. Di perusahaan properti. Uh, keren nggak tuh."

"Oke juga, bisa diajakin shopping kalau gitu."

"Ih, ngaco. Ditabung dong, buat rumah masa depan kami berdua."

"Alaah, baru juga jadian sebulan udah mikirin kawin."

"Pacaran nggak perlu lama-lama, Nic. Kalau perlu nih ya, tahun depan gue udah bisa jadi Mrs. Mia Fernando." ucap Mia sambil memejamkan mata dengan senyum mengembang. Dia menyebut nama belakang Billy di belakang namanya.

Nona yang dari tadi diam, menghela nafas kesal. Dia melihat Mia terlalu berlebihan. Sudah terlalu jauh angan-angannya. Belum tentu juga mereka berjodoh. Siapa tahu Mia bukan jodoh Billy. Lagi pula Billy cintanya kan pada...

Ya Tuhan, apa sebenarnya yang tejadi padaku? Gumam Nona dalam hati. Mengapa hatinya jadi gerah begini? Seolah-olah dia tidak rela Billy bersanding dengan Mia. Sebenarnya siapa lelaki yang dicintainya?

"Non, lo nggak patah hati, kan?" Monic menyindir.

"Kenapa gue harus patah hati? Gue sudah punya pacar. Dan Marvin sayang banget sama gue."

Monic tertawa lepas dengan nada menghina. Tapi dia diam saja tanpa menjelaskan apapun. Dia baru berhenti tertawa saat Mia dan Nona memelototinya karena tidak mengerti apa yang ditertawakannya.

"Oke, berarti kita bertiga udah punya pacar, ya. Nggak ada lagi main rebut-rebut cowok orang!"

Lalu mereka pulang dengan tawa bahagia. Kecuali Nona.

***

Segini dulu ya...

Love Is You (Tamat)Where stories live. Discover now