Keras Kepala

2.1K 136 5
                                    

“Semalam saya dan Pak Febrian hanya sedang membahas kerjasama Alamanda dengan biro perjalanan. Karena waktu Pak Febrian datang, Alamanda sudah akan tutup, maka...”

“Tidak masalah. Santai saja,” potong Laras cepat dengan raut wajah biasa-biasa saja. Tidak ada nada marah apalagi cemburu. Nona betul-betul heran dibuatnya.

“Bu Laras, bukannya saya sok mau mengatur, tapi saya kira karena Alamanda adalah milik Bu Laras, seharusnya Pak Febrian tidak perlu terlalu ikut campur terlalu dalam pada bisnis ini.” Nona sedikit tergagap. “Maksud saya, sebelumnya Pak Febrian tidak pernah kemari.”

Laras meletakkan ponselnya dengan sabar. Dia mengerti apa maksud Nona. Sedangkan Nona malah mengira Laras akan marah dengan kelancangannya.

“Nona, modal dari pembangunan Alamanda juga berasal dari suami saya. Jadi kalau suami saya ingin tahu perkembangan Alamanda atau bahkan ingin mengembangkannya lebih besar, saya tidak keberatan.”

“Maaafkan saya, Bu.” Nona benar-benar malu dengan argumennya sendiri. Apalagi mendengar penjelasan Laras yang seperti sedang membela suaminya. Karena sesungguhnya Nona hanya ingin Laras melarang Febrian datang kembali ke Alamanda supaya tidak ada kesempatan lagi bagi Febrian untuk menemuinya.

“Tidak apa,” Laras bersiap berdiri. “Sudah ya, saya pergi dulu. Nanti siang kalau sempat, saya kemari lagi.”

Nona mengangguk lalu membiarkan Laras lebih dulu. Hingga mobil itu sudah keluar ke jalanan, Nona masih diam mematung. Dia tidak mengerti dengan semua ini. Tidak mengerti!

Mengapa Laras seolah tidak peduli dengan kedekatan suaminya dengan wanita lain? Segoyah-goyahnya sebuah rumah tangga, tidak akan mungkin seorang istri bisa bersikap biasa saja ketika melihat suaminya sedang makan malam dengan wanita lain. Tapi Laras?

Nona memejamkan matanya sebentar kemudian melangkah ke ruangannya. Baru saja dia ingin duduk, matanya terpaku pada setangkai mawar merah di atas mejanya. Diliputi rasa penasaran, Laras segera mengambilnya.

Seumur-umur baru kali ini ada seorang lelaki yang memberinya bunga. Bahkan Marvin pun tidak pernah. Billy juga tidak. Diliputi kebahagiaan, Nona menghirup wangi bunga itu kemudian membuka selembar kertas mungil yamg tergantung di tangkainya.

Selamat pagi, Nona.

Hanya itu. Tidak ada nama pengirimnya. Ah, jangan pura-pura bodoh, Nona. Tentu saja itu dari Febrian. Gumam Nona dalam hati. Kekaguman yang tadi sudah membumbung dalam hatinya itu kini pudar perlahan. Berganti kejengkelan pada dirinya sendiri. Tidak mungkin dia terpukau pada suami orang. Tidak boleh. Dan tidak akan pernah.

Nona membuka laptopnya kemudian mencari file laporan keuangan yang kemarin baru saja diserahkan Bayu padanya. Bayu adalah akuntan di Alamanda. Namun baru satu sheet yang dilihatnya, dia sudah kesal karena ada kekeliruan di kolom paling awal. Dia jadi malas mengoreksi lebih lanjut.

Mungkin kemalasannya bercampur dengan masalah pribadinya sendiri hingga dia jadi bad mood begini. Dan ujung-ujungnya pekerjaanlah yang tidak beres. Nona segera memanggil Bayu.

“Ada kesalahan penghitungan di awal,” Nona menggeser laptopnya supaya Bayu bisa melihat. “Mengapa saldo bulan lalu tidak kamu masukkan di sini?” tanya Nona sambil mengarahkan kursornya ke kolom yang dimaksud.

“Maaf, Bu Nona. Saya lupa,” jawab Bayu sedikit gugup. Dia gugup bukan karena dia ketahuan salah. Tapi biasanya Nona membetulkan sendiri hal sepele seperti ini. Tidak perlu memanggilnya. Jadi kalau Nona sampai menyuruhnya mengoreksinya kembali, Bu Manajer ini pasti sedang datang bulan!

Nona meminta Bayu segera kembali ke ruangan kecil yang berada di sebelah ruangannya sendiri. Lalu setelah Bayu berlalu, Nona memegang pelipisnya sendiri. Memijatnya perlahan lalu memejamkan mata.

Love Is You (Tamat)Where stories live. Discover now